06 - Pesantren Al-Bina

Mulai dari awal
                                    

Di hari mulia seharusnya hanya ada hal-hal baik, tapi ... hm, ada-ada saja.

***

"Kaget aku diteriaki begitu. Seumur hidup belum pernah ada yang ngata-ngatai aku kayak gitu. Mbokku aja ndak pernah!"

Wiya meringis melihat wajah syok Rahman yang sepertinya masih belum percaya bahwa dirinya baru saja disumpahi buta oleh pelanggan becak. Sebenarnya ia juga kasihan melihat wajah nelangsa Rahman, tapi mau bagaimana lagi, toh semuanya juga sudah terjadi.

"Tapi itu siapa sih? Kayaknya bukan orang sini. Mbak itu paling kenal orang-orang desa ini. Semuanya baik-baik, nggak ada yang mulutnya kayak gitu." Zahara menimpali geram.

Saat ini, mereka sedang berada di salah satu pusat grosir barang-barang harian setelah Rahman selesai menunaikan shalat Jum'at dan Zahara menunaikan shalat zhuhur. Wiya kebetulan sedang haid sehingga tadi ia memutuskan untuk menunggu di salah satu tempat makan dan memesan makan siang mereka.

Wiya memilih beberapa jenis peralatan mandi dalam jumlah banyak, sementara Zahara memilih alat-alat pembersih. Setelah ini, mereka harus pergi ke toko lain untuk memilih handuk, beberapa gamis dan mukena, serta pakaian dalam. Koperasi pesantren harus menyediakan barang yang lengkap karena para santri tak dibenarkan untuk keluar dari area pesantren kecuali dengan permohonan izin wali.

"Iya, kayaknya pendatang sih, Mbak." Wiya mengiyakan seraya memasukkan empat lusin shampo ke dalam keranjang yang didorong Rahman. "Belagu soalnya."

Zahara mengiyakan. Wanita berusia tigapuluh satu tahun yang masih berstatus lajang itu mulai mengoceh tentang betapa pentingnya pendidikan adab sejak dini. Wiya dan Rahman hanya menjadi pendengar setia.

"Sopan santun itu nggak hanya terhadap orang yang lebih tua dan dikenal, tapi juga terhadap orang asing. Kalau zaman aku kecil dulu, ibuk sama bapakku itu bakal ngurung aku di kamar dan ceramah berjam-jam kalau aku ngomong kasar dikit sama orang. Apalagi kalau nyumpah-nyumpah begitu, bisa-bisa digampar dan gak diakui anak. Lah anak-anak zaman sekarang? Omongan kasar itu udah kayak trend. Kalau gak kasar gak gaul. Benar tuh kata Mbah Konfusius, kekuatan sebuah bangsa itu bergantung pada integritas rumah tangganya. Orangtua merupakan madrasah pertama untuk anak itu emang benar adanya."

"Atau bisa jadi juga karena pengaruh sosmed kali, Mbak? Jaman sekarang kan satu orang minimal satu ponsel. Aku pernah baca di salah satu jurnal, katanya sosmed menjadikan pola perilaku sosial masyarakat mengalami pergeseran." Wiya menimpali asal.

Zahara memutar bola mata. "Pergeseran prilaku sosial? Halus amat. Langsung bilang aja 'sosmed itu lebih banyak mudharat-nya dari manfaatnya. Gitu aja susah. Wiya...Wiya."

"Ya ndak bisa langsung dihakimi kayak gitu juga sih, Mbak. Banyak juga yang nemu potensi mereka lewat sosmed. Sosmed juga bisa menghasilkan duit loh." Rahman beralasan. Wiya mengangguk, yang dikatakan Rahman juga benar.

"Memang iya. Tapi berapa persen sih anak-anak yang pakai sosmed sekarang itu paham sama tontonan mereka? Aku itu sampai sekarang bangga kalau lihat anak-anak itu pinter ngaji, pintar shalawat, baik akhlaknya. Tapi coba lihat kenyataannya? Mereka yang suci murni dan polos itu malah diajari joget yang nggak mutu, abis itu orangtuanya bangga pula! Mau jadi apa negeri kita ini dua puluh tahun kedepan? Orang Yahudi makin pinter, kita-nya makin goblok. Bener gak, Wi?"

Wiya mengangguk lagi. Ia setuju bahwa ponsel dan sosmed memang menimbulkan begitu banyak sisi positif dan negatif. Salah seorang anak kenalannya kecanduan pada ponsel dan sosmed—pada salah satu aplikasi yang sedang booming di Indonesia. Kecanduan itu bermula dari orangtua yang terus memberikan ponsel pada sang anak dengan dalih tak ingin diganggu kesibukannya. Alhasil hingga sekarang anak tersebut tak bisa lepas dari ponsel. Parahnya, sang anak kerapkali tantrum jika ponselnya diambil. Menurut Wiya, itu bukanlah sesuatu yang wajar dan sehat. Wiya bukannya anti pada ponsel dan sosmed, ia juga pengguna aktif dua hal tersebut. Hanya saja menurutnya penggunaan benda tersebut bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Ponsel dan sosmed bukan tuhan. Benda mati tersebut tak berhak mengatur kita, justru kitalah yang me-manage penggunaannya.

Langit Diatas LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang