Pandangan Bagas pun beralih ke wajah sang bunda. Mamanya melengkungkan senyum hangat keibuan. Bagas balas tersenyum halus walau sambil menyimpan lara.

"Kenapa, Sayang?" Sebuah pertanyaan sarat akan rasa. Santi tahu perasaan Bagas, kepekaan ibu tidak ada tandingannya.

Bagas hanya menggeleng, lalu memutus tatapan karena tidak tahu harus menjawab apa. Santi pun memeluk lengan Bagas dengan rasa sayang dan iba, lalu menyandarkan kepala di bahu sang anak.

"Nanti, Mama momasa sedap for Kakak, neh." (Nanti Mama masak enak buat Kakak, ya). Santi berucap lembut, masih sambil memeluk tangan anaknya.

"Iyo, Ma. Nanti mo makang banya." (Iya, Ma. Nanti mau makan yang banyak). Bagas membalas halus, membuat mamanya tersenyum.

Kemudian, hening datang sejenak.

Bagas melirik ke kanan, pada putranya. Senyuman pun tersungging kemudian. "Capek, Al? Sini gantian, aku gendong Andra," ujarnya.

"Boleh." Alma tersenyum, lalu memposisikan Andra ke dalam dekapan Bagas.

"Ganteng banget anak Ayah, mukanya kayak Ibu," komentar Bagas begitu manis.

Alma tersenyum heran. "Kok kayak aku? Orang-orang bilangnya mirip Kak Bagas," ujarnya.

Bagas menoleh. "Masa, sih?" lalu kembali mengamati wajah tidur anaknya, "tapi kata aku mirip kamu, Al." Ternyata masih begitu pendapatnya.

Santi tersenyum saja. Sudah jelas-jelas Andra seperti fotokopian Bagas, tapi entah mengapa di mata Bagas, bayinya itu mirip dengan Alma.

"Mana-mana jo, Kak. Yang penting nyanda mirip depe opa." (Yang mana aja boleh, Kak. Yang penting gak mirip kakeknya). Purnama meledek Papanya.

Lalu, mereka tergelak sebentar, kecuali Alma yang terlambat tertawa, sebab harus bertanya pada Bagas dulu apa arti ucapan Purnama.

Puluhan menit berlalu sudah, mengantarkan keluarga itu ke depan rumah kontrakan sederhana. Pemandangan sesak manusia jadi sambutan. Buruh berita begitu banyak di rumah Bagas. Ingin mewawancarai 'si korban' untuk pertama kalinya setelah 8 hari ditemukan.

Selama 8 hari dirawat, pers sama sekali tak diberi izin mengganggu Bagas pun keluarganya. Jadi, hari inilah kesempatan mereka.

Sebenarnya Bagas sangat malu, namun tidak enak pada para wartawan yang sudah menunggunya lumayan lama. Bagas berpikir, itu adalah pekerjaan mereka. Kalau tidak dapat kabar terbaru, nanti mereka tidak dapat gaji? Begitulah pikiran sederhana Bagas.

"Tapi sebentar aja, ya. Bagas-nya mau istirahat. Terus ndak usah direkam video. Boleh, toh?" ucap Santi baik-baik kepada para wartawan sebelum acara tanya-jawab digelar.

Para wartawan pun memaklumi, setuju tak merekam video. Hanya merekam suara saja sebagai landasan laporan berita, juga digunakan untuk pembuatan transkrip, jika diperlukan.

Maka di ruang tamu sederhana, para pers duduk di atas karpet. Dengan seperangkat alat pengabadi momen, mereka khusyuk dalam pekerjaan. Ada yang bertugas memberi pertanyaan, ada yang hanya menyimak sambil mengawasi alat rekam.

Ya, menyimak Bagas yang selalu menjawab dengan pandangan rendah dan suara pelan. Sedetik pun tak pernah menatap orang-orang di muka. Bukan sengaja, itu refleks alami tubuhnya yang menahan rasa malu dan sakit perasaan.

34 DAYS HOSTAGE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang