BAB - 12: Rival & Nostalgia

Mulai dari awal
                                    

Terry tidak berhentinya kagum dengan percaya dirinya Satya. Bahkan saat pelayan bawa bill, ia menunjukkannya pada Satya. "Lo hitung dulu bayaran makan berapa?"

Satya menatap bill tersebut. "Gampangannya gini aja, Ter. Gue bayarin ntar lo ganti dengan yang lain? Entah nonton atau makan kayak gini lagi, bagaimana?"

Kepala Terry menggeleng. "Gue paling anti dibayarin cowok kalau belum pacaran. Gue minta Mbaknya split bill aja gimana?"

Tidak hanya Sarah saja yang punya sisi keras kepala, Terry juga. Bedanya perempuan mungil ini mainnya lebih halus. Perlahan, Satya mengatur napas sekaligus menawarkan solusi lain. "Sebelum debat terjadi, gue punya satu solusi. Kita bagi dua totalannya, nanti lo bayar sesuai ini aja. Bagaimana?"

Terry agak berpikir lama sebelum mengangguk.

Satya langsung semangat menghitung, tapi pikirannya mengatakan bahwa ia berhasil. Dari gerak-geriknya Terry yang setengah gelisah, jantungnya yang terus berpacu, hingga sesekali mengangkat rambut lurus sebahunya ke atas sambil bersandar pada kursi.

Namun, dari lima kursi mereka ada seseorang yang memotret mereka dan mengirimkannya ke bos besar.

***

"Ini laporan terbaru untuk Anda."

Si orang tersebut mengamati foto Satya dan Terry makan siang bersama di Cafe Batavia dari ponsel. Ekspresinya tidak terbaca, tapi matanya menunjukkan seringai. Kemudian mengembalikannya ke lawan bicara.

"Awasi mereka terus, jangan gegabah dan tetap bermain cantik. Kasus Sintia tidak boleh terulang."

"Baik, Pak."

***

Sarah sungguh terheran-heran dengan selera masyarakat. Sejak pemberitaannya jadi saksi Satya di kasus pembunuhan, penjualan baju Devina Boutique meningkat drastis. Bahkan para wartawan majalah mode sampai booking tempat untuk melihat desain terbaru yang katanya lebih ready to wear.

Sarah di belakang panggung mengamati asistennya yang memastikan para model sudah memakai koleksinya. Sesekali ia maju untuk membenarkan blazer yang belum terkancing, gaun selutut yang resleting belakangnya belum tertutup sempurna hingga teriak bantu model ganti celananya yang kebesaran.

Sarah menghampiri salah satu pekerjanya. "Kamu ini gimana? Sudah saya kasih moodboard sama susunannya lho. Kok bisa ketukar begini? Sudah berapa kali kamu kayak gini, Sari? Kerjamu dulu nggak gini padahal."

Nada tinggi Sarah bikin Sari kalut. Belum ada respon Sarah bersuara lagi, "Berta mana Berta? Berta."

Berta lari terbirit-birit menghampiri sang desainer setelah diberitahu salah satu kru. Dandanannya sudah rapi, tinggal tatanan rambut Berta yang masih belum sempurna akibat belum dikasih hairspray.

"Ini celana kain kamu yang benar." Sarah menyodorkan celana kain coklat yang langsung diterima Berta dengan raut lega. Ia dan model tersebut langsung ganti celana di depan Sarah dan model-model lain saat itu juga -- tentu saja mereka sudah pakai dalaman warna putih. Kemudian mereka berdua langsung ke bagian tatanan rias dan rambut.

Sarah langsung melipir dari Sari tanpa berkata apa pun. Namun, Sari tahu bahwa ini petaka. Keteledorannya pasti bakal dapat peringatan, ia menggerutu pada diri sendiri. Dia berharap tidak dipecat saja.

Kehebohan itu berakhir ketika Sarah bersama koordinir model mengabsen para model satu persatu. Hari ini ada dua puluh model masing-masing memeragakan tiga gaya pakaian dinamakan work, life, fun. Work untuk busana kerja yang didominasi blazer, kemeja putih, dan celana kain menggunakan warna tanah. Life untuk busana santai semiformal yang didominasi blus berwarna kuning bunga matahari berbahan kain katun dan celana jins warna biru terang. Sedangkan fun adalah pakaian kasual seperti kaus yang dipadu cardigan atau overall dan kaus tebal lengan panjang warna lilac.

Reputasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang