Bisa kutebak kalau dia termangu oleh perlakuanku ini, namun detik berikutnya dia segera merapatkan jarak dengan melingkarkan kedua lengannya pada pinggangku kemudian balas memagut bibirku pelan.
Ini kali pertama aku merasa bahwa kami benar-benar terkoneksi. Bertukar perasaan yang sama dan saling mengetahui hal itu.
Benakku tanpa sadar memutar berbagai hal yang telah terjadi dalam hidupku, dan bisa kubilang, saat ini adalah momen yang paling membahagiakan. Andai aku bisa membuat permintaan detik ini juga, maka aku ingin waktu berhenti untuk selamanya.
Tapi, masih ada yang harus diselesaikan saat ini.
"ーaku ingin kau mendengarkanku," ucapku kemudian di sela ciuman kami yang sesekali berlanjut dengan kecupan singkat, namun berulang.
"Aku mendengarmu."
Tidak. Fokusnya masih berada di tempat lain.
"Bersama bukanlah ide bagus untuk kita."
Kali ini aku melihatnya membatu oleh kalimat terakhirku. Ya, aku pun tak seharusnya mengatakan secepat ini. Namun aku tidak ingin kami lebih terluka jika aku harus mengulurnya.
"Aku rasa aku salah mendengarnya," dia menyangkal.
"Tidak."
"Kenapa?"
"Karena itu hal yang kupikir paling baik."
"Kenapa begitu? Karena aku bertunangan? Akan kujelaskan sampai kau pah bahwa tidak ada sesuatu antara aku dan Yuriko."
Meskipun dia bilang sedemikian rupa, itu tidak menghapus kenyataan bahwa Yuriko mencintainya dan aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dua keluarga itu apabila pertunangan dibatalkan.
"Ini bukan hanya tentangku dan dirimu saja," aku menyela. "Meskipun sebagian besar penyebabnya ada pada diriku."
"Kau egois."
"Ya, aku tahu. Tapi itu bukan tanpa alasan, karena itu kau harus mendengarkanku."
"Aku tidak akan mendengarnya selama kau masih menyebut perpisahan."
Aku menghela napas panjang, sebelum memaksanya menatapku kembali.
"Aku bermasalah. Kau lihat tadi siang? Itu hanya sebagian dari masalahku. Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayaimu kalau kita memaksakan hubungan ini. Dan aku yakin masalahku ini akan merepotkanmu."
"Tidak. Aku akan membiasakannya asal kau juga berusaha untuk mempercayaimu meskipun itu butuh waktu lama."
"Rintaro, kau tahu salah satu hal yang paling cepat berubah di dunia ini?"
"...."
"Perasaan seseorang. Dan aku tidak ingin mengambil risiko."
Keheningan datang mencekik ketika tak seorang pun dari kami mencoba kembali bicara. Namun selang beberapa puluh Rintaro menarikku dalam dekapannya sambil merapal kalimat, "Beri aku kesempatan. Setahun, setengah tahun, atau berapa bulan. Tetaplah bersamaku. Apabila setelah itu kau masih bersikeras untuk berpisah, maka aku tidak punya pilihan lain."
──────────────
Aku belum menyetujui usulnya, namun aku tidak menolak saat dia membawaku ke tempatnya di pertengahan malam itu. Aku hanya mengikuti intuisiku yang ingin tetap' bersamanya selama beberapa waktu.
Apartemenーatau lebih tepat kusebut penthouseー Rintaro berada di gedung tak jauh dari gedung yang sebelumnya ditunjuk olehnya untuk makan malam. Luas tempatnya nyaris lima kali dari luas apartemenku, dan sempat membuatku berpikir keras tentang mengapa dia lebih sering menghabiskan waktunya di tempatku.
"Kau tinggal sendirian di sini?" Tanyaku setelah dia menutup pintu dan memanduku ke ruangan lain.
Yang pertama kali kulihat setelah keluar dari genkan tadi adalah ruang tamu dengan satu set sofa berwarna gading yang tampak mewah. Sedangkan di ruang tengah terinstal home theatre dengan layar televisi cukup besar untuk dinikmati bersama.
Dia tak perlu lagi pergi ke bioskop.
"Aku harap kau terus tinggal di sini," dia menjawab.
"Ngomong-ngomong, aku belum menyetujui yang tadi."
"Belum bukan berarti tidak."
Kemudian Rintaro mendorongku masuk ke sebuah ruangan yang hanya melihatnya sekilas bisa kusimpulkan bahwa itu adalah kamarnya. Atmosfernya tak jauh dari kamar yang ditempatinya dulu saat kuliah. Tidak begitu terang, namun cukup rapi untuk ukuran pria yang malas beberes sepertinya.
Ranjangnya pun tak nampak kusut. Tidak meninggalkan kesan bahwa kamar ini dihuni oleh orang lain.
Aku duduk di bibir ranjang, kemudian menatap ke luar kaca yang menampilkan lanskap di luar sana. Bintang masih berpendar kecil tanpa awan yang datang menutupinya. Tapi Rintaro sengaja menarik tirai dengan maksud agar konsentrasi untuknya tak terbagi.
"Aku harus mandi," kataku saat Rintaro mulai mendekat dan membaringkanku di atas ranjang.
"Ini tidak akan lama."
"Kapan kau bilang tidak akan lama, dan itu benar-benar tidak lama?"
Dia tidak menyahut, hanya menempelkan keningnya pada dahiku. Kemudian menyisipkan jari-jarinya untuk bertaut dengan jemariku.
"Apa?"
"Ayo berciuman."
"Kau tidak pernah bilang begitu saat ingin melakukannya."
"...."
"Ayo berciuman!"
Aku sedikit mengulurkan leherku untuk bisa menggapainya. Lalu bibir kami kembali bertaut, saling mengunci. Seperti pasangan yang baru pertama kali jatuh cinta.
Bukan seperti, karena nyatanya aku memang tak pernah mencintai orang lain seperti aku mencintainya.
Dan malam itu kami hanya berguling di atas ranjang, saling membisikkan apa yang kami rasakan hingga tiga perempat malam datang dan akhirnya kami tertidur dalam sebuah pelukan.
───────────────
KAMU SEDANG MEMBACA
[Finished] a Haikyuu!! Fanfiction|Rêverie|Suna Rintaro x Reader
Fanfiction𝘙ê𝘷𝘦𝘳𝘪𝘦; 𝘢 𝘴𝘵𝘢𝘵𝘦 𝘰𝘧 𝘣𝘦𝘪𝘯𝘨 𝘱𝘭𝘦𝘢𝘴𝘢𝘯𝘵𝘭𝘺 𝘭𝘰𝘴𝘵 𝘪𝘯 𝘰𝘯𝘦'𝘴 𝘵𝘩𝘰𝘶𝘨𝘩𝘵𝘴; 𝘢 𝘥𝘢𝘺𝘥𝘳𝘦𝘢𝘮. ▶ Suna Rintaro x Reader Disclaimer: ・Haikyuu!! and the characters belong to Furudate Haruichi ・I own this story Before y...
11. A Talk
Mulai dari awal