"Makanya Abel bolehin Kak Arka ikut bantuin." Abel menoleh ke arah Zion yang duduk di sampingnya. "Zion, Zion pasti nyesel ya udah ngelarang Kak Arka bantuin?"

"Iya, Yon, musuh si musuh tapi kalo kaya gini lo harus bilang makasih sama dia," ucap Vano. Posisinya menungging menyetarakan kepalanya dengan miniatur Monas tersebut.

Zion menatap Vano. "Kalo gue gak mau gimana?"

"Kenapa?" tanya Abel.

"Gak mau aja."

"Ih Abel mah bingung sama Zion sama Kak Arka. Kalian marahan mulu kenapa emangnya sih? Setiap ketemu pasti selalu marahan. Padahal kan kalo temenan enak."

Vano mendengus kesal mendengar ucapan Abel. Ia sangat geregetan dengan gadis itu. Abel tak sadar kah kalau kedua berantem dan saling benci karena merebutkan dirinya?

"Bel, peka, Bel, tolong. Peka woy peka anjir kesel gue fakkk!"

"Vano kenapa sih?" tanya Abel bingung. Lalu mengambil botol minum 1 liternya lalu meneguk air dari dalam botol tersebut. Abel itu suka sekali minum air putih jadi air minum 1 liternya sudah pasti habis. Dan bentuknya yang lucu membuatnya semangat untuk minum.

 Dan bentuknya yang lucu membuatnya semangat untuk minum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*Punya Abel yg kedua dari kiri ya

"Udah gila, Bel, diemin aja," ucap Zion.

"Anjing lo, Yon, gue lagi bantuin lo padahal."

"Gausah dibantu, gue bisa sendiri."

"Bisa sendiri apaan! Lo aja kalah mulu jing!"

"Gausah bacot gue lagi nyiapin cara."

Vano menatapnya tak percaya. "Masa sih? Yakin berhasil gak?"

"Yakin."

"Kalian ngomongin apa sih kasih tau Abel dong." Tiba-tiba Bu Tri datang memasuki kelas membuat rasa penasaran Abel harus ditahan.

"Aduh maaf ya Ibu telat masuk gara-gara keasikan ngajar di kelas sebelah," ucapnya lalu duduk di mejanya.

"Gak dateng juga gapapa, Bu," celetuk Vano dari bangku belakangnya. Untung saja Bu Tri tidak mendengarnya, kalau dengar bisa habis dia.

"Okey anak-anak, Ibu mau kalian duduk bersama kelompok kalian dengan karya kalian di meja. Lalu presentasikan dimulai dari kelompok 1 dan seterusnya."

Vano dan Zion segera menghampiri meja Abel. Bersiap untuk mempresentasikan hasil karya mereka— ralat —hasil karya Arka. Memang Arka lah yang membuatnya dan mereka hanya bagian mengecat saja.

Kebetulan kelompok Abel kelompok 1 jadilah mereka yang memulainya terlebih dahulu. Mereka pun mulai mempresentasikan hasil karyanya, alasan mengapa memilih Monas dan lainnya.

"Bagus-bagus, siapa yang buat ini?"

"Ka—"

Vano mendekap mulut Abel yang hampir saja keceplosan. "Kami bertiga dong, Bu, masa orang lain. Kan ini tugas kita."

"Iya Bu ini kita yang buat masa Ibu gak percaya?" Zion ikut memberi keyakinan bahwa mereka lah yang membuatnya. Lagian, kenapa harus bertanya seperti itu sih?.

"Ya kan kali aja gitu," ucap Bu Tri.

"Okey lanjut kelompok dua."

••••

0852XXXXXXXX
ke ruang kepsek sekarang!

Arka hanya membaca pesan yang dikirim oleh Papanya beberapa menit yang lalu. Sengaja tidak langsung datang ke sana karena ingin menghabiskan rokoknya yang baru dinyalakan semenit sebelum pesan itu masuk.

Memejamkan matanya, menebak apa lagi yang akan mereka katakan padanya. Sudah beberapa kali Arka menghadapi hal ini, tidak akan jera sampai mereka berhenti bersikap beda padanya.

Setelah rokoknya sudah habis, barulah ia turun ke bawah. Melewati kelas Abel lalu mengintipnya sekilas, gadis itu duduk bersama dengan Zion dan Vano dengan karyanya di atas meja, melihat teman yang lainnya presentasi.

Tidak ada hal yang menggangu Arka saat melihat Abel di kelas. Tampak aman dari Zion. Sehingga Arka bisa meninggalkannya.

Tak lama ia pun sampai ke ruang Kepala Sekolah. Tanpa mengetuk pintu dan langsung masuk.

Pasang mata melihat ke arahnya. Pria gagah itu berdiri dan menonjok wajahnya kuat hingga miring ke samping.

"Anak sialan!"

"Tenang Pak tenang." Kepala Sekolah menenangkan.

Wanita itu yang tak lain adalah Mama Arka memegang pundak suaminya. Ia menatap anaknya dengan tatapan kesal.

"Sudah berapa kali kamu melakukan ini, hah?! Bisanya buat onar terus. Apa kita gak capek? Capek Arka, capek! Capek hadapi sikap kamu yang gak pernah berubah!"

"Kalo capek gak usah dihadapi, Arka gak akan pernah berubah," ucapnya.

Putra— Papa Arka sudah siap untuk menghajar anaknya lagi namun segera ditahan oleh istrinya. Biar bagaimanapun ini di sekolah, Nisa tidak mau citra keluarganya jelek di depan Kepala Sekolah karena suaminya menghajar Arka di sini.

Putra menunjuk wajah Arka geram. "Mana sopan santun kamu?! Bisa gak kamu contoh adikmu itu?!"

Arka berdecih, sudah tahu kalau dirinya akan dibandingkan lagi. "Jangan pernah bandingin Arka sama dia! Kita memang beda—"

"Iya jelas beda! Dia anak yang baik sedangkan kamu anak yang buruk!" sentak Nisa cepat.

"DIAM!" Pak Haryadi berteriak. Mereka pun langsung terdiam.

"Tidak mau basa-basi, kamu di-skors satu minggu. Lalu tanda tangan di surat perjanjian kalau kamu masuk dan buat onar lagi, siap-siap dikeluarkan dari sekolah." Ia menyerahkan selembar kertas yang sudah terlebih dahulu ditandatangani oleh kedua orang tua Arka pada laki-laki berusia 17 tahun itu.

Arka membaca isi kertas itu sekilas. Ingin rasanya merobek kertas tersebut tapi ia tahan. Lalu ia menandatangani kertas di atas materai dan memberikan pada Pak Haryadi kembali.

Tanpa banyak bicara Arka meninggalkan ruangan tersebut. Mengambil motornya hendak pergi dari sekolah.

Satpam tidak membolehkannya keluar dari area sekolah karena ini bukan waktunya untuk pulang.

"Buka."

"Kamu gak boleh bolos."

"Buka!"

"Gak bisa."

"BUKA SAT!!!" umpatnya lalu memajukan motornya hingga menabrak pagar.

"Apa yang kamu lakukan hah?!!

"GUE DI-SKORS, PUAS LO?!"

To be continue

Maklum Arka emg minim akhlak.

ARKA-ABELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang