30. Satu Hari Bersamanya

Mulai dari awal
                                    

"Kemana?"

Rina menggelengkan kepalanya. "Bunda nggak tahu, dia nggak pamit ke Bunda. Dia cuma titip pesan ke Pak Satpam rumah kita," jelas Bunda.

"Loh kok gitu, kesannya nggak sopan banget."

"Anna pergi setengah lima pagi, dan kondisinya penghuni rumah masih pada tidur. Dia nggak mau ngeganggu, makanya pamit ke Pak Satpam."

Gilang pun menganggukan kepalanya mengerti. Lalu mendudukan bokongnya di kursi, yang tidak jauh dari posisi Rina.

"Bun, Ayah kenapa sih nggak kasih izin Anna pacaran? Padahal apa salahnya gitu, lagian mereka pacaran nggak berlebihan kok," tanya Gilang mengungkapkan rasa penasarannya.

Rina menghela napas, menatap putranya, "Ayah nggak pernah larang Anna atau kalian pacaran loh," ujarnya,

"Ayah cuma larang kalian nggak pacaran sama yang beda agama."

"Emang apa salahnya sih, Bun? Lagian kan cuma pacaran, bukan mau menikah," ucap Gilang, ia masih belum puas dengan jawaban yang Rina berikan.

Rina menghampiri Gilang, mengelus puncak kepala lelaki tersebut. " Emang sih cuma pacaran. Tapi setiap hubungan pasti memikirkan kelanjutan hubungannya, nggak mungkin dong sampai pacaran terus. Setiap hubungan pasti membutuhkan kepastian, untuk menentukan kehidupan kedepannya," jelas Bunda,

"Nah sekarang, coba kamu pikir. Bagaimana jika kedua pasangan tersebut berbeda keyakinan? Lalu mereka saling mencintai, pasti mereka sendiri akan bingung memutuskannya. Antara Cinta dan Tuhannya sendiri, belum lagi memikirkan bagaimana mempersatukan dua keluarga yang berbeda itu."

"Rumit," ucap Gilang menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Itu kamu tahu sendiri," balas Bunda, "maksud Ayah itu baik, beliau nggak mau jika anak-anaknya sampai meninggalkan Tuhan-nya."

Gilang menganggukan kepalanya mengerti. Tak berapa lama, Shandy dan Rasyid pun menghampiri keduanya untuk sarapan bersama.

"Lagi bahas apa nih? Kayaknya serius banget," ujar Rasyid, mendudukan bokongnya di kursi.

Gilang menggelengkan kepalanya. "Nggak bahas apa-apa kok," ucapnya dengan cengiran khasnya.

Rasyid mengangukan kepalanya sebagai jawaban.

"Gimana, Yah? Apa udah dapat donor ginjal buat Bang Shan?" tanya Gilang penasaran. Penyakit yang di derita Shandy sudah tidak perlu di tutup-tutupi lagi, karena Rina pun sudah mengetahuinya.

Shandy menatap tajam Gilang, seolah memberikan peringatan pada lelaki tersebut agar tidak membahasnya disini.

"Anna udah pergi, jadi lo nggak usah khawatir, dia nggak bakalan tahu," ucap Gilang seolah tahu apa yang di takuti lelaki tersebut.

Ayah menghela napas pelan, sebelum akhirnya mengeluarkan sebuah jawaban. "Belum, Ayah belum mendapatkannya."

Gilang diam, kini ia merasa bersalah karena telah membahas masalah ini. Shandy menghela napas, ia mulai mengunyah makanan di depannya.

"Jangan patah semangat, Bunda yakin, suatu hari kita akan mendapatkan donor ginjal untuk Shandy," ucap Rina memecahkan ketegangan di ruang makan.

"Makasih."

****

Anna dan Fiki tertawa bersama setelah menaiki wahana yang mereka sukai. Kini keduanya berada di tempat bermain. Fiki mengajak Anna ke tempat ini, untuk mengulang kebersamaannya di masa kecil.

"Mau apa lagi?" tanya Fiki.

Anna memanyunkan bibirnya, memegang perutnya. "Nana lapar, Kiki. Kalau makan boleh nggak?" 

Sayap Pelindung 2 : Cerita yang belum usai [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang