"Saya sudah menolaknya, apa mungkin masih bisa diterima."

"Kalo mau nanti gue bilangin."

Ansel mengerutkan dahi, mencerna gerak gerik gadis di hadapannya saat ini. "Jadi tawaran itu atas permintaan Nona juga," tebaknya.

Kali ini Sena yang tampak terkejut. "Lo tuh sebenernya pinter ya, cuman pura-pura bego aja kayaknya. Ih, kesel gue," keluhnya.

Hal itu tentu membuat Ansel tertawa. "Hanya menebak," kilahnya. "Tuan Justin sepertinya bukan tipe orang yang mudah terpengaruh, dia pasti begitu mencintai Nona," ucapnya haru.

"Lo belom tau papi gue si, dia tuh kalo di luar kaya Singa yang disegani sama penghuni hutan lainnya, tapi kalo di rumah mah jadi kucing persia dia. Lemah sama anak-anaknya. Abang gue aja pernah kabur pas mau nikah." Setelah mengutarakan kalimat panjang yang tidak penting itu Sena kemudian berpikir, kenapa dia jadi membuka aib keluarga.

Tapi tidak apa, setidaknya Ansel bisa berpikir keluarganya tidak sesempurna yang dia kira. Sedikit menghibur pemuda itu yang benar-benar dikucilkan oleh para saudaranya, bahkan sang papa.

Ansel masih terlihat mengulas senyum saat Sena memutuskan kembali mengubah topik pada Tante Anna. "Kalo boleh tau lagi, kenapa Tante nggak bisa jalan?" tanyanya.

Senyum di bibir pria itu perlahan menghilang. Sena jadi merasa bersalah atas pertanyaannya. Dan lengkung itu digantikan dengan senyum pahit yang berusaha menyembunyikan kesedihan hatinya.

"Mama pernah kabur, dia lari ke jalan raya. Nona mungkin bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya."

Sena mengangguk, mungkin sebuah kecelakaan membuat kakinya lumpuh. "Tapi bisa diobatin, kan?"

"Berobat jalan, tapi saya bahkan tidak  akrab dengan dokternya."

Sena tidak menanggapi lagi, dia merasa terlalu ikut campur jika kembali memberikan solusi. Dia hanya mengangguk kecil tanda mengerti.

Mama Ansel lalu menggerakkan kursi roda menjauh dari mereka, menuju bunga-bunga yang tertata rapi di dalam pot dan kemudian memandanginya.

Sena tentu merasa bingung saat Ansel membiarkannya. "Beneran nggak apa-apa dibiarin gitu?" tanyanya.

Ansel menggeleng. "Mama memang seperti itu, suka menghampiri tempat yang dia mau. Tapi tidak pernah terlalu jauh.

"Oooh." Sena masih mengarahkan pandangannya pada wanita bernama Anna, lalu beralih pada Ansel yang ternyata tengah memandanginya. "Kenapa?"

"Kenapa Nona bisa ada di sini?"

"Tadi gue lewat gerbang itu, terus bilang sama penjaganya mau ketemu Sandi. Terus gue dibolehin masuk."

"Jadi memang benar Nona ke sini ingin bertemu Kak Sandi?"

"Ya kan semalem mereka taunya gue sama Sandi. Masa gue bilang mau ketemu sama lo. Kenapa sih, lo nggak suka?" Sena terlihat sebal saat kehadirannya terkesan mengganggu pemuda itu. "Lo nggak suka gue ke sini apa nggak suka tujuan gue bukan lo?"

Sesaat Ansel terdiam, dia lalu mengakui bahwa dia tidak menyukai jika tujuan gadis itu ke tempat ini adalah Sandi.

Sena tertawa. "Lo cemburu?"

"Hanya tidak suka saja."

"Iya itu namanya cemburu." Sena melirik Sinis, namun dengan polos pria itu lalu mengangguk.

"Iya mungkin seperti itu."

"Jujur banget lo ya."

"Apa tidak boleh?"

Fake Bodyguard (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang