4. a New Anxiety

Mulai dari awal
                                    

Di sisi lain, Habibie dan Claryn terpisah saat dua orang pengangkut cermin besar datang membelah jalan. Claryn mau tak mau berbelok ke kiri, sementara Habibie lekas menyusul Rydel yang baru saja masuk ke kafe. Bunyi lonceng terdengar. Bukannya santai, serigala dan buaya itu justru memelesat ke salah satu meja pengunjung.

"Permisi, kami izin bersembunyi sebentar," tutur Habibie pada seseorang yang sedang menikmati secangkir mocha latte.

"Maling, ya?"

Habibie dan Rydel menggeleng cepat. "Bukan, justru kami yang dikejar."

"Oh, baiklah. Kalian aman di sini," jawab pria itu sembari mengacungkan jempol, mengisyaratkan bahwa segalanya akan baik-baik saja. Rydel yang khawatir pada Vaeril terus menggerutu sepanjang persembunyian, hingga kemudian atensinya teralihkan begitu getar ponsel terdengar.

Pria yang sejak tadi menatap ke luar jendela mengangkat panggilan itu. Habibie sempat mengagumi kebaikannya. Namun, tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang mencurigakan dari ucapan seseorang di seberang sana.

"Remaja berjubah oranye?" Pria berkemeja itu melirik Habibie dan Rydel, membuat keduanya langsung saling pandang—paham bahwa merekalah yang menjadi objek pembahasan sekarang.

"Sial." Habibie mengambil ancang-ancang. "Lari, Ryde!"

"Hei! Jangan kabur!"

Kepala Rydel sempat terantuk meja karena kaget mendengar aba-aba mendadak dari Habibie. Untungnya, dia cukup piawai menyeimbangkan tubuh. Bel kafe berdenting nyaring, membuat sebagian orang di sana tersentak. Di sisi lain, pria yang sejatinya seorang nakhoda itu hanya mendengkus. Tidak ada niatan sedikit pun dalam dirinya untuk mengejar mereka berdua.

"Simpan jubahmu ke dalam tas!" pinta Habibie pada Claryn yang ditemuinya di persimpangan jalan. Beberapa orang mengerjap heran, sedangkan sisanya hanya menatap datar bak melihat kucing-kucing jalan melintas.

"Ke sini!"

Ketiga remaja bersurai gelap itu mengerem lariannya begitu Vaeril muncul dari sebuah lorong. Tanpa pikir panjang, mereka pun masuk dengan napas yang terengah-engah. Beruntung di sana ada banyak sekali kardus-kardus usang yang siap menyembunyikan tubuh mereka. Meskipun bau menyengat dari botol wine mengganggu pernapasan, tetapi setidaknya tempat ini aman.

"Apa itu?" Habibie bertanya ketika Claryn mengeluarkan sebuah gulungan bertali biru. Entah kenapa, ingatannya terlempar ke masa-masa di mana mereka masih ada di gurun. "Sejak kapan kau—"

"Sudah diamlah, aku lebih tahu kapan harus memakainya," potong Claryn seraya menarik paksa tangan semua temannya, termasuk Habibie. Rydel yang sejak tadi menggenggam tangan Vaeril mendadak antusias saat gulungan itu dibentangkan di atas tanah. Namun, sial. Gulungan itu tidak menunjukkan tanda-tanda kekuatannya kendati Claryn sudah berulang kali merapal mantra pengaktifan.

"Ish! Kenapa tidak bisa?" Claryn sebal sendiri.

"Gulungan tidak berguna! Siapa yang membuatmu, sih? Kalau rusak begini, mah, jangan dijual!" Rydel yang tiba-tiba ikut mengomel malah menginjak gulungan itu. Seperti inilah dia kalau sudah jengkel pada sesuatu. Benda yang tidak bersalah pun akan menjadi objek pelampiasannya.  "Kau juga! Untuk apa kau membuang—"

"Diam atau kukasih kecoa?"

Bersamaan dengan Vaeril yang baru saja mengapit antena seekor kecoa dengan jemarinya, gulungan Claryn tiba-tiba bergetar. Kumpulan rune menyatu, berubah menjadi serbuk-serbuk biru yang tampak indah di mata. Dua detik kemudian, cahaya terang memancar lepas.

Berbeda dengan portal di obelisk, gulungan itu tidak memberikan sensasi apa pun ketika proses pengiriman berlangsung. Hanya, mereka harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan. Gulungan murah pasti memiliki kekurangan yang cukup tinggi. Dan, ketidakpastian lokasilah yang menjadi risiko terberatnya.

Rioma's Red Sunset (MAPLE ACADEMY HIDDEN YEAR 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang