Di hari minggu ini, Jeno sudah bersiap untuk pergi menemui seseorang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di hari minggu ini, Jeno sudah bersiap untuk pergi menemui seseorang. 

"Nuna! Aku pergi dulu!"

"Hati-hati!"

Jeno mengangguk.

Orang itu mengajak Jeno bertemu di sebuah taman. Jeno menoleh ke arah sekitar mencari orang itu. Setelah lama mencari dia melihat seorang pria yang duduk di bangku taman dekat pohon.

"Maaf membuatmu lama menunggu," ucap Jeno sembari membungkuk sopan.

"Tidak apa-ap-

"Jeno?!"

Jeno mendongakkan kepalanya.

"Harabeoji?!"

"Sudah aku katakan berkali-kali! Aku tidak akan melakukan operasi lagi!" teriak Kun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sudah aku katakan berkali-kali! Aku tidak akan melakukan operasi lagi!" teriak Kun.

Panggilan terputus.

Kun menghela napasnya, dia yakin. Saat besok dia datang ke rumah sakit. Dia akan dipanggil kepala rumah sakit dan mendapat teguran. Tapi mau bagaimana lagi? Kun masih takut untuk melakukan operasi.

Tok tok

Kun menoleh saat mendengar ketukan dari luar kamarnya.

"Masuklah, tidak dikunci," ujar Kun.

Ceklek

Seseorang membuka pintu kamar Kun.

"Ah Lucas, ada apa?"

"Bisa kita bicara?"

Kun mengangguk.
°
°
Lucas mengajak Kun pergi ke halaman belakang sembari meminum kopi. Hal menenangkan yang bisa dilakukam di pagi hari.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Kun.

Lucas menarik napasnya.

"Apa aku... aku...," ragu Lucas.

Kun yang mengerti keraguan Lucas berkata, "katakan saja."

"Apa aku boleh tahu apa alasan kau menolak melakukan operasi? Bukankah impianmu sedari dulu itu menjadi dokter bedah? Bahkan dulu kau rela pergi larut hanya untuk operasi," ucap Lucas. 

          

Kun tersenyum, jika boleh jujur saat ini hatinya menghangat mendengar Lucas. Hubungannya dengan Lucas semakin membaik sejauh ini, entah apa yang terjadi tapi Kun senang. Meski suasana canggung tetap ada.

"Kau ingin tahu?"

Lucas mengangguk ragu.

"Karena aku takut gagal. Aku pernah gagal menjadi dokter sekaligus kakak untuk Yangyang..."

Kun menunduk, dia memainkan gelas kopinya.

"Setiap aku mencoba operasi, bayangan kegagalan itu selalu mengahantuiku," ucap Kun.

"Andai saja aku tidak gagal menjadi dokter, Yangyang pasti sembuh dan baik-baik saja. Andai saja aku tidak gagal menjadi kakak, kau dan Yangyang pasti mendapatkan kasih sayang yang cukup meski tanpa mama ataupun baba," jelas Kun.

Lucas menatap Kun dengan tatapan sulit diartikan, matanya sedikit berkaca-kaca.

"Hyung... maafkan aku..."

Kun menggeleng.

"Tidak, ini memang kesalahanku. Aku yang keras kepala," ujar Kun.

"Hyung... kau tidak gagal menjadi dokter ataupun kakak. Hanya saja takdir mengujimu untuk kuat meski dalam keadaan kehilangan."

"Terkadang kita harus merasa kehilangan agar merasakan bagaimana bermaknanya sebuah hal, meski itu hal sepele," kata Lucas.

"Kau tidak pernah gagal, tapi itu takdir. Maaf karena menyalahkanmu dan marah pada takdir yang berjalan ini," lanjut Lucas.

Kun menatap Lucas.

"Kita sama-sama salah... maaf."

Lucas mengangguk.

"Jika kau tidak ingin gagal. Berarti kau harus mencobanya lagi. Kegagalan ada untuk mencoba terus dan mendapatkam hasil yang baik."

"Kau mau mencobanya lagi, kan?" tanya Lucas.

Kun mengangguk dan tersenyum.

"Kau benar, terima kasih Lucas."

Kun menelpon salah satu perawat di rumah sakit tempat ia bekerja.

"Halo?"

"Apakah disana masih memerlukan dokter untuk operasi?"

"Tentu saja! Tapi kau tidak-

"Aku akan datang!"

Kun pergi dengan setelan dokternya. Dia menoleh ke arah Lucas sebentar.

"Semangat!" seru Lucas.

"Bagaimana bisa nomor putriku adalah kau?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bagaimana bisa nomor putriku adalah kau?"

Jeno menggeleng.

"Apa jangan-jangan..."

SomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang