CSG 39- Kepulangan Fiza

Mulai dari awal
                                    

"Bang, wajah aku jelek gak?"

"Kenapa?" Gus Adnan menyadari tingkah Gus Afkar mulai aneh.

"Dia mau ke sini. Hifdza."

"Hifdza siapa?" Nyai Nadya muncul diambang pintu, memasuki ruangan dengan membuka pertanyaan. Ekspresi wajahnya sudah tak sedingin kemarin. Lebih bersahabat sekarang.

* * *

Titik nadir adalah saat ini, bagi Haifa yang tengah duduk memandang kosong ke luar jendela, memeluk kedua lututnya. Air mata seolah telah habis, menyisakan warna kehitaman dibawah garis matanya.

Seharusnya hari ini adalah moment yang paling bersejarah dalam hidupnya. Duduk berdampingan dengan seseorang yang dicintainya diatas pelaminan. Menjalin hubungan yang diridhai Allah.

Namun, kenyataannya terbanting dengan takdir yang digariskan untuknya. Mungkin Gus Afkar memang bukan jodohnya. Tetap saja ini bukan hal yang mudah bagi Haifa.  Semalam, ia tidak bisa tidur, melewati dingin malam dengan air mata. Bujukan Mahfudz dari luar pintu tak dihiraukan. Makanan tak sebutir pun masuk ke tenggorokan. Haifa benar-benar terpuruk.

"Haifa, makan sedikit yuk, Nak. Ayah suapi." Mahfudz mengetuk pintu pelan.

Tak ada sahutan dari bibir Haifa. Beranjak dari posisinya pun enggan.

"Ayah mohon, Haifa. Habis makan, kamu boleh nangis lagi sepuasnya. Mau nangis dikamar, dipelukan Ayah juga boleh, Sayang."

Haifa masih pada tempat semula. Haifa ingin sendiri dulu, tak ingin diganggu.

"Haifa mau sendiri dulu ya, Nak?" Mahfudz menyeka pipi yang basah. Matanya telah merah. Sebagai ayahnya pastilah ia ikut merasakan sakit putrinya.

"Ayah taruh makanannya di depan kamar kamu ya. Nanti kamu ambil dan makan. Ayah tidak akan menggangu kamu, Sayang."

"Lekaslah sembuh putri kecilnya Ayah," lirih Mahfudz mengusap pintu kamar putrinya.

* * *

Nyai Nadya termangu ditempat, begitu melihat sosok perempuan familiar, hadir tepat di depan mata. Seorang perempuan muda, memakai gamis syar'i ditemani perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik, itu berhasil mencuri atensinya.

Dia Hifdza yang beberapa jam lalu putranya ceritakan. Seseorang yang mirip sekali dengan Fiza, putri angkatnya.

"Fiza." Tanpa sadar Nyai Nadya bergumam. Kerinduan tampak dipelupuk netra Nyai Nadya.

"Saya datang ke sini untuk mengembalikan seseorang yang beberapa tahun lalu kalian anggap sudah tiada," cetus Ranti menunduk, masih ada sesal. Mungkin ia akan dimaki setelah mengakui kesalahannya.

Deg!

Ruangan yang menyertakan Gus Afkar sebagai pasien, Gus Adnan, Nyai Nadya, juga dua tamunya yang tak lain Fiza dan Ranti, seketika menjadi gawat ketika mendengar penuturan Ranti.

"Maksudnya?" Gus Afkar sungguh tak mengerti. Ia menginginkan kejelasan secepatnya, raut wajahnya sangat tidak sabar.

Cerita terurai kembali. Ranti menceritakan sama persis dengan yang ia ceritakan kepada Ust. Hafiz dan Fiza, tidak dikurangi apalagi diimbuhi.

Senang bercampur marah reaksi keluarga ndalem. Nyai Nadya berlari memeluk Fiza. Menangis dibahunya, bercerita betapa pilu ditinggal olehnya sampai tak sadar Fiza juga ikut meneteskan air mata.

Setelah Nyai Nadya puas melepas rindu, Fiza memenuhi panggilan gus Afkar untuk mendekat kearahnya yang duduk tak berdaya diatas brankarnya. Kepalanya diperban. Wajahnya yang putih bersih dihiasi lebam dan memar. Fiza meringis pelan seolah merasakan rasa sakitnya. Namun, belum sempat ia bertanya mengenai keadaannya, pemuda itu sudah menarik raganya ke dalam pelukannya.

"Sudah kuduga! Hatiku tidak pernah salah dalam mengenalimu. Selamat datang kembali, my wife."

Tubuh Fiza berdiri kaku nan kikuk. Ia merasa was-was membalas pelukan Gus Afkar. Ingatannya belum pulih, tapi perasaannya merasa tentram seperti saat kali pertama melihatnya di desa.

Karena Gus Afkar tak kunjung melepas pelukannya, Fiza mengurainya lebih dulu, malu dilihat yang lebih tua diruangan itu.

"Apa yang terjadi? Kenapa Gus bisa babak belur begini?" Fiza menelusuri setiap jengkal bekas luka di wajah Gus Afkar. Melihatnya dengan pandangan sedih.

Gus Afkar tersenyum, mengusap pipi Fiza. "Kemarin malam saya dihajar Ayah Haifa karena sudah membatalkan pernikahan."

Fiza menutup bibirnya rapat dengan tangan, terkejut. Ia bahkan lupa jika hari ini adalah pernikahan Gus Afkar. Namun, selang beberapa detik kemudian, wajahnya berubah galak.

"Ya pantes sih, gus jahat kalau sampai membatalkan pernikahan."

"Saya cuma tidak ingin menyakiti dia, jika menikahinya tapi hati saya masih tertinggal dikamu. Bisa saja saya berpura-pura mencintai dia, tapi mau sampai kapan hidup dalam kebohongan? Sakitnya hari ini tidak akan seberapa dibandingkan nanti."

Fiza tak tahu harus bilang apa. Itu keputusan Gus Afkar.

"Tapi seharusnya kalau Gus tidak yakin, jangan melamar dia. Gus sudah mempermainkan perasaannya."

Gus Afkar memotong cepat, "Saya tidak tahu kalau kamu masih ada. Walau pun kemarin mereka sempat menyangkalnya, tapi perasaan saya tidak bisa dibohongi. Saya hanya mau kamu, dan terus begitu selamanya sampai akhir hayat saya."

Fiza terlihat menahan kecewa dengan tindakan impulsif Gus Afkar. Seandainya, Gus Afkar jadi menikah hari ini, ia sungguh tak mengapa. Bukankah laki-laki boleh menikah lebih dari satu kali?

"Fiza?" Bola mata Ning Nada melebar kala netranya menangkap keberadaan Fiza. Pun gadis kecil yang ada dibelakangnya. 

Fiza tak mengenali mereka. Ia hanya dapat tersenyum kecil.

"Dia adalah Mbak Nada, Kakak aku. Dan anak yang bersamanya itu keponakan kita." ucap Gus Afkar memperkenalkan pada Fiza. Ia tahu Fiza kehilangan ingatannya.

Gus Afkar beralih menunjuk Gus Adnan yang berada di sisi kiri brankar. "Ini adalah Bang Adnan, sepupuku. Dia yang mengelola pesantren setelah Abi wafat. Dan tadi perempuan yang menyambutmu adalah Umi." 

Fiza mengangguk paham. Ia perlahan tahu anggota keluarganya.

"Tunggu, Mbak gak paham, maksudnya ini apa ya? Dia siapa?" Ning Nada yang belum tahu apa-apa, kelimpungan.

"Yang kamu lihat benar. Dia Fiza." Nyai Nadya menepuk bahu putrinya. "Dia ditemukan oleh Ranti dan Fiza hilang ingatan selama ini. Jenazah yang kita ambil waktu itu bukanlah Fiza."

Ning Nada tidak bisa membendung kebahagiaan dalam hatinya. Air mata bahagia mengalir begitu saja. "Ya Allah, Fiza."

* * *

900 vote 500 koment, next.

Jazakumullah Khair 🕊️

CINTA SEORANG GUS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang