"Cepet pake Teh," suruhnya seraya menyalakan mesin sepeda motor. Sedangkan gerimis terus berjatuhan membasahi jaket yang membungkus kemejanya perlahan.
Tidak membuang waktu, Naya segera memasang jas hujan kebesaran milik Ghani pada tubuhnya dan langsung naik ke atas motor.
"Teteh pegangan. Ghani ngebut, nih!" Ghani memberi aba-aba sekaligus menarik tangan Naya pada pinggangnya.
"Iya, ayo cepetan." Naya membelit erat pinggang Ghani seiring sepeda motor yang membawa mereka meninggalkan tempat itu.
Ghani menambah kecepatan sepeda motornya saat gerimis mulai berganti menjadi hujan yang cukup lebat.
Sesampainya di rumah.
Naya menatap bungkusan bebek goreng di hadapannya tanpa minat. Berbeda dengan Ghani yang bersemangat.
"Wah! udah lama banget nggak makan bebek goreng depan," ujar Ghani sambil membuka kertas pembungkus nasi. Matanya berbinar-binar. Air liurnya hanpir menetes.
"Rasanya nggak pernah berubah," komentar Ghani setelah satu suap nasi dan sesuir bebek serta sambal masuk ke dalam mulutnya."Beda sama bebek-bebek yang di tempat lain. Apalagi sambelnya mantap!" ocehnya membuat Naya menggeleng. "Rasa sambal di tempat lain nggk ada yang kaya di Mamamg ini."
"Sambel juga kalau beda tangan yang buat, pasti beda rasa," timpal Naya.
"Mungkin, sih." Ghani mengedikkan sesikit bahunya. Terus menyantap makanannya tanpa suara. Dia sudah sangat lapar.
Naya hanya memperhatikan Ghani yang makan dengan lahap sampai tersedak.
"Pelan-pelan, Ghani." Naya menuang air putih, menambahkannya pada gelas Ghani.
"Laper banget, Teh."
Naya menggeleng lagi. "Tadi siang makan apaan?"
"Apa aja ya tadi. Beli nasi padang samping kantor. Terus nyemil kue-kue kecil. Kerjaan Ghani lagi banyak. Bawaannya lapar terus."
"Tadi siang, Dinda main ke kantor." Naya berkata dan mulai membuka kertas pembungkus bebek goreng miliknya.
"Oh," Ghani hanya menyahut pendek. Sibuk lagi dengan makanannya.
"Kok, oh? Kalian masih belum baikkan?" kerutan pada dahi Naya tampak terlihat.
"Kita udah baikkan kok, Teh," ungkap Ghani setelah menelan makanannya."Cuma ... Mood Dinda lagi ancur-ancuran. Gara-gara skripsinya harus revisi lagi," sambung Ghani lebih jelas.
Naya menghela nafas lega.
"Syukurlah, kalau kalian udah baikkan. Lain kali, kamu kalau mau menyampaikan sesuatu itu harus jelas. Jangan sampai Dinda salah faham lagi."
"Iya Teh. Ghani janji nggak ngulang kaya gitu."
"Jadikan hal yang sudah lewat buat pelajaran. Kamu jangan terlalu cuek, kasih juga dukungan buat Dinda supaya semangat revisinya."
Ghani mengangguk mengerti lantas berkata lagi."Iya Teh, Ghani lagi coba buat nggak terlalu cuek. Ghani juga kalau senggang, bantu Dinda dikit-dikit."
"Pokonya jangan sampai salah faham lagi." Pesan Naya penuh penekanan.
Ghani berhenti mengunyah. Pandangannya dia pusatkan pada Naya. Sejenak dia menepis ragu saat akan mengugkapkan keinginannya yang beberapa hari ini dia pendam.
Ghani menegakkan punggungnya. Menyiapkan keberaniannya sebelum berbicara.
"Teh?"
"Kenapa?"
"Sebenarnya, dari kemarin ada yang mau Ghani omongin," ucapnya harap-harap cemas.
"Tentang apa?" Naya langsung mengubah fokusnya pada Ghani. Meninggalkan bebek goreng yang sudah dia buka.
"Rencananya ... Ghani mau langsung ngelamar Dinda."
Hening beberapa saat. Naya cukup terkejut dengan hal itu. Tetapi, tidak menutup rasa bahagianya.
"Kapan?" tanya Naya akhirnya.
"Teteh setuju kalau Ghani ngelamar Dinda?" Ghani balik bertanya. Mengabaikan pertanyaan Naya sebelumya.
"Teteh tidak punya alasan untuk tidak setuju. Kita sudah kenal Dinda lama, anaknya baik dan keluarganya juga kita kenal baik. Kalau memang kamu merasa sudah yakin sama keputusan kamu, silakan. Teteh cuma bisa berdoa yang terbaik buat kamu sama Dinda," ucap Naya tulus dari hatinya.
"Jadi kapan?" Ulang Naya bertanya.
"Mungkin, setelah Dinda selesai sama kuliahnya," jawab Ghani lugas.
Ghani sudah mempertimbangkan dengan matang niatnya untuk memeprsunting Dinda. Terlebih setelah dia mulai yakin jika Bian memang lelaki yang tepat untuk Naya. Sehingga dia tidak perlu khawatir lagi.
"Sejauh keputusan kamu untuk kebaikkan, Teteh akan dukung," tukas Naya.
"Terimakasih, Teh."
Naya menjawab dengan menggumam di sertai seulas senyum hangat.
"Kamu lanjutin makannya. Teteh lupa, tadi katanya Mas Bian mau telepon." Naya bernajak dari tempat duduknya.
"Iya Teh. Tapi, itu nggak diabisin?" Ghani menunjuk piring Naya dengan makanan yang masih utuh. Belum tersentuh sama sekali. Hanya bungkus bebek goreng yang sudah terbuka.
"Nanti saja," sahut Naya. Dia tidak terlalu berselera untuk makan.
"Ya udah, nanti Ghani yang beresin piring kotornya kalau udah selesai. Punya Teteh bebeknya mau Ghani simpan di kulkas, ya?"
"Disitu, saja. Nanti Teteh makan, kok," ujar Naya dengan suara sesikit keras dari depan kamarnya.
"Oke!" balas Ghani tidak ingin bertanya banyak. Dia hanya mencoba mengerti keadaan Naya.
***
Naya duduk bersila di atas tempat tidur. Punggungnya menyandar pada kepala ranjang. Ponselnya dia simpan diatas bantal dengan layar menyala. Kedua telinganya sibuk mendengarkan Bian yang sedang bercerita. Sedangkan matanya tidak berkedip memeprhatikan wajah tampan Bian yang membuatnya semakin rindu.
Selama Bian bercerita, selama itu juga senyum terus terbit dari bibir Naya.
"Kamu bagaimana hari ini?" tanya Bian. Menunggu giliran Naya bercerita adalah hal yang dia tunggu-tunggu.
"Pekerjaanku di kantor terselesaikan dengan baik. Tapi, hari ini ada beberapa hal yang membuatku jengkel," curhat Naya.
"Salah satunya?" tanya Bian penasaran.
"Salah satunya yang buat aku jengkel pas mau berangkat pagi. Eh, aku bangun kesiangan," keluh Naya.
Bian melipat bibirnya kedalam. Sekuat tenaga untuk tidak tertawa.
"Aku juga hari ini masih males banget masak, Mas," tambahnya tidak ada yang ditutup-tutupi."Jadi, tadi Aku sama Ghani beli bebek goreng di depan. Tapi belum aku makan."
Bian mendengarkan cerita Naya penuh minat.
"Tidak apa-apa. Tapi, nanti jangan lupa di makan. Atau mau aku temani?"
Naya langsung menggeleng. Saat ini dia tidak lapar, tetapi merindukan lelaki itu.
"Nanti aku makan sendiri. Masih kenyang juga. Tadi Mbak Fani traktir kita makan siang semua dan aku makan cukup banyak." Cerita Naya mengalir seperti air. Sampai tidak terasa memakan waktu hapir tiga puluh menit.