Bab 16. Kejutan tak terduga

Mulai dari awal
                                    

"Nggak papa, Om, tadi udah Dikta titipin sama penjaga kampusnya. Kebetulan Dikta kenal."

"Oh ya sudah. Mau masuk dulu?"

Dikta menolak secara halus tawaran itu. "Dikta masih ada urusan, Om. Oh ya besok Dikta izin jemput Gyana, ya, Om."

"Tentu, ngapain juga pakai izin?" Gunawan terkekeh lirih saat menjawab. Merasa bersyukur jika memang hati putrinya mulai melunak oleh sikap Dikta. Jika keduanya berjodoh di masa depan kelak, dia tidak akan merasa risau lagi jika waktunya tiba untuk berpulang nanti.

"Kalau gitu saya permisi, Om." Dikta segera mencium punggung tangan Gunawan dan meluncur pergi dengan motor milik Gyana. Berharap esok gadis itu sudah mulai dirinya bisa kendalikan.

*

Sayangnya rencana hanya tinggal rencana yang tidak selalu berjalan mulus. Karena saat pagi harinya Dikta datang, Gyana malah sudah berangkat ke kampus.

"Tadi bareng Viko, katanya ada kelas pagi-pagi sekali," ujar Gunawan dengan raut tidak enak karena Dikta datang terlambat. Entah Gyana sengaja menghindar, atau memang yang dikatakan putrinya itu sebagai alasan benar adanya.

Dikta yang mendapat penjelasan itu tentu saja kecewa. Namun, tidak ada yang perlu disesali karena memang seperti inilah Gyana. Meski kelihatan sudah luluh, gadis itu pasti akan berusaha menyembunyikan rasa yang sebenarnya. Dikta pun memilih pamit dan langsung meluncur ke kampus.

Sesampainya di sana, pemuda itu segera mencari keberadaan Gyana. Dan kebetulan sekali langsung melihatnya dari kejauhan sedang duduk di koridor bersama dengan Viko. Pemuda yang katanya adalah sahabat dekat gadis itu, tetapi entah mengapa Dikta merasa tidak nyaman setiap kali melihat Gyana duduk dengan pemuda itu. Rasanya, cara Viko menatap Gyana seringnya penuh dengan kekaguman. Mungkinkah pemuda itu juga menyukai Gyana seperti dirinya?

"Gue nggak bakalan luluh sama dia." Kalimat yang terlontar dari bibir Gyana membuat langkah seorang Pradikta terhenti. Dan sebelum salah satu dari dua orang itu menyadari kehadirannya, pemuda itu memutuskan untuk bersembunyi di balik tembok.

"Padahal udah segitunya dia ngejar lo, masak lo nggak mau kasih kesempatan?" Kali ini Viko yang bersuara.

"Apa yang dia lakuin ke gue di masa lalu itu terlalu membekas, susah sekali buat nggak nginget-inget lagi."

"Gue penasaran apa yang sebenarnya udah pernah dia lakuin sampai lo benci banget kayak gitu."

Terdengar hening, Pradikta tidak bisa melihat ekspresi yang Gyana tunjukkan karena kini gadis itu membelakanginya.

"Gue nggak bisa cerita, biar itu jadi rahasia kelam hidup gue di masa lalu. Males gue ngungkitnya."

Dikta menghela napas, ternyata luka Gyana lebih dalam dari perkiraaannya. Sepanjang gadis itu belum mau memafkannya, maka cara apa pun yang digunakannya untuk mendekati Gyana tidak akan pernah berhasil.

"Jadi lo nggak masalah kalau dia memang benaran pacaran sama si Luna itu?" Fokus Dikta kembali saat kalimat tanya itu terdengar.

"Nggak papa," jawab Gyana cepat. "Memangnya gue harus gimana? Dia bebas macarin siapa pun dan gue nggak peduli."

Pradikta tersenyum masam, dalam benak mulai merancang rencana. Sepertinya dia harus memanfaatkan Luna dalam misi ini. Dikta ingin tahu apakah benar Gyana tidak apa-apa jika dia mengumumkan Luna sebagai pacarnya?

*

Gyana kesal pada dirinya sendiri yang tidak memikirkan risiko ini. Tadi pagi memang dia berhasil menghindar dari Dikta, dengan cara meminta Viko untuk menjemputnya. Namun, saat ini, bagaimana caranya dia pulang jika kunci motornya masih berada di tangan pemuda itu? Tidak mungkin bukan, dia mencari sosok itu dan meminta kuncinya? Yang ada akan muncul gosip yang tidak-tidak.

"Ngapa, deh, lo, kayak cacing kepanasan gitu?" celetuk Reni yang mulai terganggu oleh Gyana yang terlihat begitu gelisah sejak tadi.

"Kunci motor gue sama Dikta." Tidak berniat menyembunyikan ini karena kali ini Gyana benar-benar butuh bantuan.

Reni tentu saja heran mendengar jawaban itu. "Kok bisa?"

Gyana pun menjabarkan apa yang terjadi kemarin, bagaimana bisa kunci motornya tertahan di tangan pemuda itu.

"Wah, Dikta sweet banget ternyata, ya." Reni tampak berbinar saat mengatakan itu. "Coba gue yang digituin. Udah langsung klepek-klepek.''

Gyana hanya mencibir kesal mendengar komentar itu. "Entar aja deh klepek-klepeknya, sekarang anterin gue, yuk!" Gadis itu langsung berdiri dan menarik lengan Reni.

"Mau ngapain?"

"Minta kunci motor gue, entar gue pulangnya gimana coba?"

Mendengar itu tentu saja Reni semangat karena melihat wajah Dikta adalah sumber vitamin yang akan membangkitkan mood-nya.

"Kalau itu si gue nggak nolak, Gy!" Keduanya pun segera melangkah ke tempat di mana Dikta mungkin berada.

"Doi kan nongkrongnya di kantin kalau lagi nggak ada kelas tapi, ya," ujar Reni sembari terus melangkah.

Gyana yang mendengar itu pun segera mengayunkan kakinya ke arah kantin. Namun, sosok Dikta tidak ada di sana. Hanya ada beberapa pemuda yang beberapa kali pernah terlihat berkumpul dengan pemuda itu.

"Itu temen-temennya, lo tanya aja sama mereka," usul Reni.

"Ih ogah!" Gyana tentu saja lebih memilih keliling kampus dari pada harus menjatuhkan harga dirinya dengan bertanya di mana Dikta.

"Ah lo mah, ya udah biar gue aja yang nanya. Siapa tahu ada yang nyantol." Reni mengikik oleh kalimatnya sendiri, dan tanpa ragu gadis yang mewarnai rambutnya dengan warna abu itu langsung berjalan ke gerombolan pemuda itu.

Gyana yang melihat tingkah Reni sebenarnya malu. Namun, setidaknya sikap memalukan Reni sekarang ini sangat membantunya. Bisa dilihatnya gerombolan pemuda itu banyak yang menggoda sahabatnya itu. Tidak lama Reni kembali dengan senyum teramat lebar.

"Gue udah tahu Dikta di mana," ujar Reni sembari menarik lengan Gyana untuk melangkah ke tempat di mana Dikta kini berada.

*

"Lo yakin di sini lokasinya?" tanya Gyana sanksi saat Reni mengajaknya ke sebuah ruang kosong yang berada tidak jauh dari perpustakaan.

"Tadi pada bilang gitu kok ke gue." Reni pun mulai ragu jika informasi yang didapatnya itu benar.

"Jangan-jangan lo dikerjain lagi."

Reni yang merasakan hal sama hanya bisa mengedikkan bahu.

"Ih, pada resek banget, deh." Gyana pun memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Namun, lengannya ditahan oleh Reni.

"Tunggu, deh, Gy. Gue denger ada suara orang kayaknya." Reni menajamkan telinganya, Gyana pun ikut melakukan hal sama.

"Iya, kayak ada yang lagi ngobrol," ujar Gyana saat mendengar suara seseorang.

Reni menunjuk sebuah ruangan untuk mereka periksa. Gyana pun mengangguk setuju dan berjalan mengekori Reni yang kini mengendap-endap menuju satu ruangan yang mereka yakini sebagai sumber suara.

"Ini maksudnya kamu nembak aku?" Itu suara seorang gadis yang dibuat manja. Reni dan Gyana mengintip dari celah pintu yang seperti sengaja dibuka sedikit. Kedua pasang mata gadis itu bisa melihat dengan jelas seorang Dikta kini tengah berdiri di hadapan Luna.

"Iya, lo mau jadi cewek gue?"

Ada sesuatu yang seperti menghantam dada Gyana saat mendengar Dikta mengatakan itu pada Luna. Di mana gadis di depan Dikta itu kini tengah menganguk-anggukkan kepalanya.

Reni yang juga terkejut dengan pemandangan di depan sana seketika menoleh untuk mengetahui bagaimana reaksi Gyana. Gadis itu tidak menunjukkan reaksi berarti, tetapi Reni bisa melihat mata Gyana tampak berkaca-kaca.

***

IG - dunia.aya

MENGEJAR CINTAMU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang