Ratu memutar bola mata jengah. “Mama sudah menyarankan agar kamu menambah cctv di setiap sudut, kamu yang nggak mau.”

Jelas tidak. Karena yang paling Sultan takutkan bukan kemungkinan Padma mencuri dari mereka, melainkan hal yang jauh lebih mengerikan daripada itu. Karena bukan tak mungkin saat ini Padma yang tampak menceritakan kisah kancil yang legendaris kepada adiknya itu sedang memintal rencana dalam otaknya.

“Dan bagaimana kalau ternyata kecurigaan kamu salah?”

“Syukur.” Tepat saat Sultan selesai mengucap satu kata sederhana itu, sebuah bola kasti yang berukuran sekepalan tangannya jatuh dengan sempurna tepat di puncak kepala Sultan yang sontak berhasil membuatnya melonjak kaget sebelum menggeram kesal, nyaris mengumpat kasar, andai ia tak mengingat keberadaan Ratu di sampingnya.

Memungut bola tersebut dari lantai, Sultan menoleh dan mendapati Padma yang entah sejak kapan sudah berdiri di sisinya sambi meringis, barangkali merasa bersalah. Oh, dia memang harus merasa bersalah atas tindakan lancangnya.

“Apa ini?” tanya Sultan dengan nada mengerikan.

Yang dengan bodohnya Padma jawab, “Bola.”

Sultan menggeram sekali lagi, kali ini lebih keras. “Kamu tahu maksud pertanyaan saya!”

Padma menggaruk tengkuknya yang terbalut hijab. “Itu, Raja yang melakukannya.”

“Maksud kamu, Raja sengaja melemparkan bola ke kepala saya?”

Buru-buru Padma menggeleng. “Bukan. Tadi Raja mengajak saya main bola.” Dia menunduk, sesekali mendongak sekilas untuk mengintipi wajah murka Sultan yang mengerikan. Selalu mengerikan. Oh, bahkan wajah datarnya juga menakutkan, dan Padma masih belum terbiasa.

“Kalau kamu yang diajak bermain bola, kenapa bola ini malah nyasar di kepala saya?”

“Mungkin Raja nggak sengaja, Sultan. Kamu berlebihan, ih.” Ratu menanggapi sambil lalu tanpa mengalihkan pandangannya dari majalah fashion yang sedang diamatinya.

“Ini bola kasti, Ma.” Sultan menunjukkan bola hijau dalam genggamannya pada Ratu, sekadar agar ibunya tahu benda itu berbeda dari bola plastik biasa. “Mama mau tahu rasanya kena bola macam ini di ubun-ubun?” Sultan sama sekali tidak bermaksud bertanya selancang itu. Ia hanya kesal. Demi semesta, Sultan dilempari bola kasti tepat di puncak kepalanya, sakit, bahkan sekarang masih agak nyu-nyutan. Memang tidak sengilu kena lempar bola basket, tapi tetap saja. Terlebih, ini kepala. Kepala. Meski Raja yang melakukannya, tetap saja salah Padma yang tidak bisa mengawasi adiknya dengan benar. Padahal Sultan menggajinya dengan nominal yang sangat besar, seharusnya itu cukup membuat Padma cakap bekerja.

Pertanyaan retoris sulungnya, berhasil membuat Ratu mengalihkan pandangan dari majalah, demi menatap Sultan dengan wajah ... ah, Sultan benci kalau ibunya sudah bertampang begini. Dua sudut bibir yang ditarik ke bawah dan mata melebar dengan kilat menyedihkan, persis mata kucing yang sedang kelaparan.

Drama lagi, keluhnya dalam hati. Lagi pula, yang menjadi korban di sini adalah Sultan, kenapa ibunya malah membela wanita itu?

“Kamu tega melempar kepala Mama dengan bola kasti?”

Senjata makan tuan adalah, saat pertanyaanmu dilempar kembali ke hidungmu oleh seorang Ratu.

Sultan menarik napas panjang. Denyut di ubun-ubunnya kian cepat, seirama dengan denyut nadi yang berkedut-kedut di pangkal leher.

“Memang aku yang salah!” geramnya seraya melempar bola yang masih digenggamnya sembarangan hingga memantul-mantul tak tentu arah di ruang keluarga yang luas itu. Dan perempuan selalu benar, dumelnya seraya melangkah pergi dari sana.

PadmaWhere stories live. Discover now