BAB 14

6.2K 446 270
                                    

Thania sedang berbaring dengan terlentang di atas ranjang, memandangi langit-langit kamarnya. Dia sedang memikirkan ucapan yang dilontarkan Vitri tadi siang.

"Kapan lo nerima gue jadi teman lo, sih?"

"Argh! Pusing gue." Thania menjambak rambutnya kencang. Dia berguling-guling di ranjangnya, mengambil bantal, lalu melemparnya berulang kali.

Aksi Thania terhenti ketika mendengar ketukan pintu dan teriakan kakaknya. "Masuk aja, Bang!"

Thania mengernyit, melihat Satria yang sudah bersiap dengan baju kotak-kotak dan tas selempangnya. Terlihat simpel, tapi keren dan tampan.

"Mau ke mana, Bang? Mau jualan?" tanya Thania. Dia duduk di pinggir ranjang sembari menatap kakaknya.

Satria terkesiap. Memandang Thania jengah. “

"Ngadi-ngadi kamu," katanya, kemudian mendekat dan menatap, lalu setelah beberapa detik, dia berkata lagi.

"Abang ganteng, nggak?" Satria menaikturunkan alisnya, tidak lupa senyumannya yang membuat Thania bergidik.

"Abang jangan senyum, kayak Joker."

Tangan Satria terulur, menjitak kening Thania pelan. "Aduh, Bang. Hiks, sakit, Bang, hiks. Huhu, sakit."

Satria terkekeh pelan. Dia mengusap kening adiknya lembut. "Gini aja sakit. Lebay!"

Thania tertawa pelan, dia menepuk-nepuk bahu kakaknya. "Canda, elah, Bang," balasnya. "Hidup itu jangan terlalu serius."

Satria memutar bola matanya. "Nyenyenye."

"Dih!" Thania tertawa. "Menye-menye kayak gitu, tahu dari mana, Bang? " Satria mengangkat bahunya tidak peduli. Dia menatap adiknya sembari tersenyum. "Tha, kamu belum jawab pertanyaan, Abang."

"Apaan?"

Senyuman Satria makin melebar membuat Thania menautkan alisnya, bingung dengan kakaknya. "Kenapa, sih? Abang hari ini aneh banget!"

"Abang ganteng, nggak?"

"Lah, oh itu." Thania menelisik penampilan Satria dari atas ke bawah dan mengangguk puas. "Abang udah ganteng, setiap hari malah."

Satria mengangguk mantap. "Oke."

Setelah mengucapkan itu, Satria melenggang pergi, meninggalkan Thania yang menatapnya malas.

****

"Pepet terus!"

Thania tertawa melihat kakaknya tengah menggoda anak orang di taman. Ini langka, baru pertama kali dirinya melihat Satria seperti itu. Menggoda anak orang dengan embel-embel sayang.

"Duh, sakit banget perut gue." Gadis dengan rambut dikuncir itu mengusap sudut matanya yang mengeluarkan air mata karena terlalu banyak tertawa.

Satria mendengkus kesal, melihat Thania yang mengejeknya terus-menerus. Dia tidak tahu kalau Thania mengikutinya. "Kampret!" umpatnya tiba-tiba, menatap adiknya yang sedang makan es krim di kursi belakang dekat dengannya.

"Kamu bilang aku kampret?!"

Atensi Satria teralihkan ke arah gadis yang digodanya barusan. Dia menggeleng. "Bukan ke kamu."

"Nyenyenye." Thania kembali bersuara.

Satria memejamkan mata. Adiknya itu benar-benar membuatnya kesal.

"Di sini, kan, nggak ada orang selain aku." Gadis yang bernama Kara itu melihat sekitarnya.

"Ada, kok," balas Satria. Matanya menyorot tajam ke arah adiknya yang tengah menggerakkan-gerakkan mulut, seakan meledeknya.

Satria menghela napas panjang, berusaha sabar. Dia kembali menatap Kara yang juga tengah menatapnya. "Kamu kenapa?" tanya Satria dan dibalas gelengan oleh Kara.

Kara membalikkan tubuhnya, membelakangi Satria. Dia heran karena pemuda itu terus menatap ke belakang, tempat di mana dirinya sedang berdiri.

Dia mendengkus. Pantesan Satria melihatnya terus, ternyata ada gadis yang lebih cantik darinya. Huh! Dia, kan, jadi insecure.

Thania tersenyum kikuk. Sebuah ide tiba-tiba muncul di otaknya. Gadis dengan balutan hoodie hitam dan topi hitam yang bertengger di kepalanya itu tersenyum manis menghampiri kakaknya dan seorang gadis pendek.

"Sayang! Dia siapa?" tanya Thania yang sudah bergelayut manja di lengan kakaknya. Dia menatap Kara dengan polos.

Satria mengejapkan matanya berulang kali. Tidak lama, suara kekehan ringan terdengar. Oh, adiknya mau bermain drama ternyata. Baiklah kalau begitu, mari dilayani dulu.

Kara mendongak, menatap perempuan jangkung itu. Ah, dia semakin insecure melihat tubuh Thania seperti model kalangan atas yang sering dilihat di televisi.

"Dia siapa?" tanya Kara sambil melirik Thania.

"Istri," jawab Satria dengan santai, membuat Thania melongo dengan jawaban kakaknya.

Kara mengangguk. "Kita putus!"

Setelah mengucapkan itu, Kara meninggalkan mereka berdua yang terdiam.

Thania menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia sedang menahan bibirnya agar tidak berkedut, sedangkan Satria mengangkat tangannya yang mengepal dengan tinggi dan berkata, "Yes!"

"Kok, yes, sih, Bang?" tanya Thania. Seharusnya, Satria nangis, terus maksa buat nggak minta putus sama Kara. Namun, kakaknya malah kelihatan bahagia setelah putus cinta.

"Nggak tahu, intinya Abang seneng!"

"Lah, kok?" Thania kebingungan dengan tingkah kakaknya. "Maksudnya gimana, sih, Bang?! Thania nggak paham."

Satria mengedikkan bahunya acuh tak acuh. "Intinya Abang bebas dari gadis manja ples budek itu. Abang kesel, padahal Abang ngajak dia pacaran cuma karena papanya."

"Ouh, pasti karena bisnis, kan?" Thania jelas tahu, Satria sering sekali mengajak perempuan pacaran karena bisnis. Demi kerja sama antar perusahaan, Satria dengan lapang dada menerima jika ada rekan bisnisnya yang menawari anaknya.

 
****

Telah direvisi

My Perfection Is Badgirl Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ