30. "Serius."

Mulai dari awal
                                    

Raut Indonesia manjadi sayu, ia menggenggam kedua tangannya erat, "Dulu dia orangnya murah senyum, tapi..."

"Aku tau." Jokowi menghela nafas. "Tapi hanya boneka ayahnya dan dia menyesal apa yang telah ia perbuat."

"Dia mana pernah menyesal."

"Lalu yang telah ia perbuat selama ini kepadamu hanya kebohongan bagimu? Rasa penyesalan itu tak hanya dikeluarkan dari kata-kata."

"Aku tau Jokowi. Tapi jika aku semakin jauh berpikir, apa dia mencintaiku karena sedang membutuhkanku? Maksudku dia hanya menggunakanku lagi."

"Tapi jika dia menggunakanmu lagi, apa 1 semester kurang, pencitraan itu tak membuatnya benar-benar jatuh cinta kepadamu? Bukankah hatinya akan luluh?"

Indonesia menghela nafas, "Seandainya yang kau katakan itu menjadi kenyataan, Jokowi. Aku mungkin bisa menerimanya lagi sekarang."

"Bagaimana pun kau harus menerimanya jika ingin masalah ini selesai dengan cepat."

"Ya aku juga ingin begitu, biar mereka ga memaksaku terus." Indonesia memakan kuenya lagi. "Tapi aku tak ingin kalian mendapat masalah lagi seperti waktu itu."

"Itu kan masa lalu. Setiap orang selalu berubah dari masa-masa ke masa. Kau tidak bisa melihatnya dari sudut pandang satu waktu saja." Jokowi tersenyum. "Aku yakin dia juga memiliki perasaan terhadapmu, bukan hanya kau saja. Cintamu ini bukan cinta bertepuk sebelah tangan Indonesia, sejak dulu padahal. Dia juga mencintaimu."

Indonesia tersentak. Mukanya memerah. Raut wajahnya menunjukkan terkejut dan bahagia. Dia lalu memeluk pemimpinnya itu.

"Beneran?!"

Jokowi mengangguk, "Tentu."

Indonesia semakin memeluk erat Jokowi. Jokowi membalasnya pelukannya. Trauma Indonesia selama berpuluh-puluh tahun sepertinya mulai pudar dan juga ingatan buruk saat itu mulai menunjukkan ketidakpastian.

"Jika dia cinta kepadaku—"

"Stop this talk. Time to sleep." Jokowi melepaskan pelukan Indonesia. "Kau akan menemukan jawaban itu bersama seseorang yang pasti dia ada di pihak perdamaian."

Jokowi berdiri lalu menuju kamarnya. Indonesia terdiam sesaat, ia melihat Jokowi yang mulai pudar dipandangannya.

"Siapa? Di pihak perdamaian?"

「秋の花のように」

Kediaman Netherlands

Alexander melihat telepon rumahnya. Ia memegang kertas yang berisikan sebuah nomor. Beberapa kali ia menghela nafas dan tampak gugup untuk memasukkan 4 nomor terakhir untuk menghubungi seseorang.

"Ayolah Alexander kau bisa kok."

"Lama amat sih njir—"

"Diem." Alexander menghela nafas. "Baik ayo."

Tit tit tit tit tiit...

- "Siapa?"

"Ini aku, Netherlands."

- "Oh kenapa kau menelpon dengan menggunakan telepon rumah?"

"Kan nomor aku di blokir."

- "*Sigh*, Oh iya lupa. Nanti besok aku akan pulang. Jadi sekarang aku akan tidur di rumah EU dulu."

Please, Help me...|| Countryhumans Netherlands x Indonesia [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang