“Halo, Dek Dipta. Barangku ada yang ketinggalan di apartemenmu, ya?” tanyaku sambil melirik ke arah Rizky. Ternyata dia memperhatikanku.
“Jangan panggil Adek! Lagian, barang apa yang ketinggalan?”
“Oh, iya, pulpenku? Nggak apa-apa deh, buat kamu aja.”
“Maksudnya apa, Mbak?”
Aku kembali melirik Rizky. Sialan, dia masih terus menatapku.
“Sama-sama, nggak perlu sungkan, aku masih punya banyak pulpen di rumah.”
Tut.
Aku memutus panggilan secara sepihak. Bisa dibayangkan kalau saat ini Dipta tengah bingung dengan ucapanku. Biarlah, nanti akan kuluruskan sekalian kuberi peringatan agar tidak telepon mendadak seperti tadi.
“Denger kan? Ada barang yang ketinggalan, pulpen gue,” kataku.
Rizky tampak percaya, karena adikku itu tak lagi bertanya, dan kembali fokus pada ponselnya. Nyaris saja ketahuan.
***
Malamnya, aku dan Rizky tengah asyik menonton tayangan televisi. Keasyikkan itu sirna saat terdengar deru kendaraan bermotor yang begitu familier di telingaku. Mendadak, aku terdiam kaku.
“Oh, kayaknya Dipta udah dateng,” ujar Rizky.
“Dia ke sini? Ngapain?”
Rizky beranjak dari duduk. “Gue mau belajar UTBK bareng sama dia. Kalau belajar sendiri susah pahamnya, kalau sama Dipta enak, dia pinter.”
Aku mengangguk paham. Selepas kepergian Rizky, aku mematikan televisi lalu kabur ke kamar. Usai menutup pintu kamar, aku naik ke atas kasur, kemudian duduk sambil menyandarkan tubuh ke sandaran ranjang.
Samar-samar dapat kudengar obrolan Rizky dan Dipta dari ruang tamu. Hingga tak berselang lama, suara teriakan Rizky terdengar.
“Mbak! Ini Dipta bawa martabak manis! Lo mau nggak?”
Martabak manis? Tentu saja mau. Aku hendak turun dari atas kasur, namun saat teringat dengan sosok yang tengah bersama Rizky, aku langsung urung. Sebaiknya aku tidak menemui Dipta untuk saat ini, bisa gawat kalau dia bertindak aneh di saat ada Rizky.
“Nggak dulu! Gue lagi sakit gigi!” dustaku kemudian.
Terpaksa berbohong, padahal aku sangat menginginkan martabak manis itu. Semoga saja Rizky menyisakan sedikit untukku.
Fokusku beralih ke ponsel. Penasaran, aku membuka instagram lalu mencari akun milik Dipta. Kami sudah saling mengikuti, lebih tepatnya Dipta yang lebih dulu mengikutiku lalu dia memintaku untuk mengikuti balik.
Ternyata benar, Dipta mengunggah fotoku di feed instagramnya. Astaga, captionnya membuatku ingin tertawa. Benar-benar seperti bocah yang sedang galau. Aku hendak menggulir layar untuk melihat foto-foto lain di feed instagram milik Dipta, namun suara pintu kamar yang dibuka membuatku urung.
“Riz, please, jangan suruh gue bikin mi—”
Ucapanku langsung terhenti saat melihat sosok Dipta yang masuk ke kamarku, bukan Rizky. Mau apa bocah itu ke sini? Ya ampun, gawat kalau Rizky sampai tahu.
Tanpa permisi, Dipta duduk di tepi kasur lalu meraih wajahku. “Mana yang sakit giginya?”
Aku bergegas menyingkirkan tangannya dari wajahku. “Kamu ngapain masuk kamarku? Keluar sana!” suruhku, panik.
“Kayaknya tadi pagi Mbak Aya nggak sakit gigi. Bohong?”
Dipta justru tidak mengindahkan ucapanku.
“Aku bawain martabak manis, Mbak Aya bukannya suka banget?”
Mulutku terbuka lalu kembali tertutup. Mendadak bingung mau bicara apa.
“Mbak sengaja mau menghindar dari aku?”
Pertanyaan terakhir Dipta diikuti dengan wajahnya yang bergerak mendekat ke arah wajahku. Iris hitamnya yang menyorot tajam seolah menghipnotisku, hingga saat dia semakin mempersempit jarak dan menempelkan bibirnya di atas bibirku, tubuhku hanya terdiam kaku.
Aku terpejam, mulai mengikuti pergerakan bibir Dipta pada bibirku. Tangan Dipta menangkup kedua sisi wajahku, dia menciumku semakin cepat. Bibirnya bergerak memagut bibirku, kemudian menyesapnya cukup lama. Bisa dipastikan, setelah ini bibirku akan memerah.
Dipta memutus ciuman. Dia menempelkan keningnya dengan keningku. Napas kami memburu dan bersahutan. Aku menelan ludah, membasahi kerongkongan yang mendadak kering.
“Dip, ada Rizky loh.”
“Nggak akan ketahuan, dia lagi ke wc.”
“Tapi—”
Bibirku kembali dibungkamnya. Aku pasrah dan mengikuti permainannya, lagi pula aku tidak menampik kalau menikmati cumbuannya, asalkan dia tidak kelewat batas saja. Kami berangsur berpagutan dengan intens, bahkan tanganku entah sejak kapan sudah mengalung di lehernya, menarik wajah Dipta agar mendekat.
Tak lama, aku mendorong dadanya. Ciuman kami terlepas. Aku sengaja melakukannya agar tidak terlalu jauh, untung saja aku ingat kalau ini di rumahku, dan ada adikku di sini.
Dipta tidak protes, cowok itu kembali mendekat ke arahku lalu memeluk tubuhku. Dapat kurasakan dia menempelkan hidungnya di ceruk leherku, menghirup wangi tubuhku.
“Kangen banget.”
“Nggak usah lebay, baru beberapa jam yang lalu ketemu.”
Dipta melepaskan pelukan, tetapi tangannya masih berada di pinggangku. “Tadi maksud yang di telepon apa?”
“Kamu lain kali jangan telepon aku sembarangan! Tadi ada Rizky, dia curiga tahu!” kesalku.
“Mbak takut ketahuan Rizky? Padahal, aku nggak masalah.”
“Aku—” perkataanku langsung terhenti saat terdengar suara langkah kaki dari Rizky. “Cepet keluar dari kamarku!”
Dipta bergeming. Langsung saja aku menarik tangannya lalu mendorongnya keluar dari kamar. Tepat setelah itu, Rizky muncul dan menatap penasaran ke arah Dipta.
“Lo ngapain dari kamar Mbak Aya?”
“Habis pinjem pulpen.”
Dipta beranjak dari kamarku dengan santainya hingga membuat Rizky percaya dengan ucapannya. Aku menghela napas lega, untung tidak ketahuan.
***
Sekarang tidak ketahuan, tapi apakah ke depannya tetap tidak ketahuan? Mwehehe.
Sampai jumpa di next bab maniezzz😘
Follow:
Wp: ainjae
Ig: ainjae_wattpadRepost: 16 Maret 2024
End: 8 Agustus 2022Salam sayang,
Ai
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped by Berondong (On Hold)
Romance(Jangan dibaca dulu. Proses revisi ditunda. Dilanjut setelah cerita "Stuck with You" selesai). "Aku mau kamu, Mbak!" Satu kalimat itulah yang menjadi awal dari kisah baru Ayana. Ayana Maharani (22 tahun), mahasiswi semester 6 yang tengah disibukkan...
Bab 19 - Nyaris Ketahuan
Mulai dari awal