"Iya, sama-sama, Mbak," balas Ghazi lantas berdiri meninggalkan area kantin.
Si biang onar, Jeno dan Cakta hanya mampu membuka mulut sembari ditahan oleh Revan. Kalau tidak seperti itu sudah pasti perdebatan tidak akan cepat selesai. Ghazi meninggalkan kantin diiringi ucapan terimakasih dari teman-temannya. Sedangkan Gibran tak banyak bicara karena sedang membaca pesan dari Alvarez.
"WOI, ZI. UANG LO GUE TRANSFER SEKARANG JUGA!" teriak Jeno menggebu-nggebu.
🦋🦋🦋🦋
Disinilah Alvarez sekarang. Lapangan utama. Dia sedang berkumpul dengan tim yang akan melakukan tanding basket satu jam lagi di GOR Merdeka. Laki-laki itu berdiri tegak lengkap menggunakan jersey dan headband. Arahan dari Guru olahraga didengarkan sampai selesai, meski posisinya bukan anggota resmi club basket tetapi semua orang menyeganinya, mungkin karena Alvarez memiliki nama sebagai ketua geng motor.
Setiap kata yang terucap sebenarnya tak perlu dipertegas, Pak Tio hanya ingin mengambil kepercayaan Alvarez dan menarik perhatian laki-laki itu. SMA Mandala masih menduduki peringat pertama tentang bola basket, turnamen yang selalu dilakukan setiap tahun, pasti berhasil ditaklukkan, membawa pulang juara satu dengan tropi terbaru. Tidak heran bila banyak siswa dari sekolah lain melakukan kecurangan, Fikri cidera di lapangan saat bermain, dan anggota yang lain keracunan makanan, itu semua adalah ulah lawan mereka.
"Bapak Harap kalian semua bisa fokus dan menuju babak final minggu depan."
"Ingat, kalian semua adalah satu tim. Jangan ada yang bermain sendirian, usahakan saling bekerjasama. Tunjukkan kalau kalian layak disebut sebagai murid SMA Mandala. Paham semua?"
"Siap, paham, Pak." Semuanya kompak menjawab.
"Dan untuk kalian, Alvarez, Gibran, dan Revan. Bapak yakin sekali sekolah kita akan meraih juara tahun ini seperti tahun-tahun sebelumnya."
"Bapak juga yakin, kalian bertiga bisa membawa nama baik SMA Mandala. Tunjukkan bakat kalian." Pak Tio mendekati Alvarez, menepuk pundak laki-laki itu, pun juga melakukannya pada Gibran dan Revan.
Alvarez dan Gibran tidak menjawab, hanya Revan yang menganggukkan kepala. Akhirnya, setelah berdebat sengit dengan inti Calveraz, yang ikut turun ke lapangan mereka bertiga. Tidak perlu khawatir selagi ada Alvarez. Bahkan, satu sekolah sudah mendengar kabar ini, mereka kompak datang menonton dan menjadi supporter di tribun, alih-alih melihat tiga pasukan Calveraz bermain.
"Gimana kondisi lo?" tanya Revan.
"Aman," balas Alvarez santai.
"Istirahat yang cukup, Rez. Kita udah kelas 12, kita di sini cuma 8 bulan. Jadi, jangan ngeforsir diri lo berlebihan."
"Makan dan tidur yang cukup, urusan yang lain belakangan aja. Selagi ada gue sama anak-anak, lo nggak perlu kuatir," pesan Revan penuh perhatian.
Gibran menepuk pundak sahabatnya, mengingatkan dengan maksud yang sama. "Kalau soal keluarga lo, kita-kita nggak akan ikut campur. Tapi, kalau ada hal lain di luar itu, gue siap berdiri paling depan."
"Hm, thanks." Alvarez membalas dengan rangkulan.
"Kayaknya, Pak Tio sengaja nunjuk lo sebagai kapten. Padahal ada anak basket dari tim resmi, kan?"
"Nggak masalah, selagi gue mampu dan yang lain setuju, gue fine-fine aja," jawab Alvarez.
"Intinya, Pak Tio udah lama ngincar Alvarez," sahut Gibran.
"Gue rasa, kita dimanfaatin," ucap Revan curiga.
"Emang itu niat awal Pak Tio supaya Alvarez ikut gabung ke club basket, guru itu juga pernah nawarin gue," sambung Gibran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Calveraz
Teen FictionFOLLOW SEBELUM MEMBACA!!! Cerita ini mengandung kata-kata kasar, Action, dll. Bijak dalam membaca❗ TERBIT‼️ "Jangan buat gue hilang kontrol, Aileen!" "Maaf." "Jangan pernah main-main sama dunia gue!!" **** Tentang perempuan sedang berusaha menda...
8. Jebakan di Markas
Mulai dari awal