Bugh!!!!
Chiko tersungkur seketika saat satu pukulan jevandra berikan pada rahang putih Chiko. Kelima temannya langsung panik dan melerai keduanya.
"Woi woi kok malah berantem!" teriak Haikal berusaha memisahkan jevandra yang menindih Chiko.
"Jevan stop! Minggir gak lo!" seru Haikal.
"GUE BILANG NGGAK USAH BAWA BAWA AXEL LAGI KE DALAM TIM KITA!"
"KENAPA? LO TAKUT KAN?"
"AXEL MASUK RUMAH SAKIT!" teriak jevandra meluapkan emosinya, membuat mereka sontak terdiam seakan langsung mengerti apa yang membuat jevandra tidak fokus.
"Kak Axel..."
"Masuk rumah sakit?"
"Kenapa?" beo teman temannya bergantian.
Jevandra mengatur nafas emosinya yang belum mereda sambil tersenyum sinis menatap teman temannya.
"Apa peduli kalian? Kalian cuma bisa manfaatin Axel buat tim! Kalian gak tau apa apa tentang Axel kan? Axel masuk rumah sakit gara-gara kalian!" marah jevandra. Emosinya yang bergejolak ingin meluap keluar rasanya sampai membuat dada jevandra sesak saking kesalnya. Matanya memerah hampir menangis. Ia merasa bersalah pada Axel atas teman temannya yang hanya tau memanfaatkan Axel tanpa berpikir ada apa dibalik nya. Salahkan Axel juga yang tidak mau jujur dan terbuka, terlalu bodoh mengorbankan kesehatan nya demi tim basket nya. Jevandra pusing.
"Maksud lo apa?" tanya Haikal bingung.
Enggan menjelaskan lebih, jevandra pun langsung mengambil tasnya dan pergi meninggalkan teman temannya yang hanya diam memandang kepergian jevandra.
Jevandra memutuskan pergi dari sekolah padahal sekolah belum selesai karena tadi jevandra latihan saat jam istirahat. Ia memutuskan bolos dan pergi ke rumah sakit untuk melihat Axel lagi.
Setibanya di rumah sakit, jevandra masuk ke dalam kamar rawat Axel yang lagi lagi masih menampakkan pemandangan Axel terbaring belum sadar di atas bangsal. Jevandra menumpahkan emosinya melalui air matanya begitu tiba di hadapan Axel. Ia kemudian duduk dan menenggelamkan wajahnya bertumpu pada sisi ranjang bangsal Axel sambil meremas tangannya. Tidak ada yang paling menyakitkan dibanding menangis dalam diam yang rasanya sangat menyesakkan.
"Maafin gue, Cel. Maafin temen temen gue yang udah manfaatin lo sampe lo berakhir kayak gini. Gue tau mereka gak tau apa apa, tapi gue tetep marah sama mereka. Seharusnya lo gak pernah gantiin posis gue dulu." racau jevandra sambil menangis.
Jevandra mengangkat kepalanya untuk memandang wajah pucat Axel yang setia pingsan sejak dua hari yang lalu. Air matanya meluruh lagi.
"Kapan lo bangun, Cel? Gue takut lo nggak bangun lagi. Lo bilang gak akan ninggalin gue, tapi kenapa baru aja janji itu terucap lo udah kayak gini. Terlalu singkat, Cel. Bangun, Cel." jevandra menunduk lagi merasakan sedak di dadanya. Sambil menggengam tangan Axel yang dingin, jevandra menunduk mengeluarkan emosinya dengan menangis.
"Gue janji gak akan marah marah lagi sama lo, gue nggak akan gengsi lagi, gue bakal bikin lo seneng dengan bilang gue sayang sama lo setiap hari. Gue bakal nunjukkin perasaan gue ke lo tanpa gengsi, Cel. Tapi gue mohon lo bangun.." ujar jevandra parau. Tangisnya yang sesenggukan membuat bahunya naik turun akibat dari menangis.
Tiba-tiba sebuah mengusap kepalanya. Jevandra langsung mengangkat kepalanya dan menatap Axel yang sudah sadar setelah dua hari tak sadarkan.
"Axel! Lo sadar, Cel. Gue takut lo gak bangun lagi!" jevandra langsung menerjang Axel dengan pelukan brutal hingga membuat Axel meringis.
Tak mampu membalas dengan kata kata, Axel hanya merespon dengan usapan lembut di kepala jevandra. Hingga beberapa lama jevandra memeluknya, jevandra pun melepasnya dan memandang Axel yang juga menatapnya kosong.
"Gue panggil dokter dulu," Jevandra lantas memanggil dokter menggunakan alat komunikasi yang ada di kamar rawat tersebut untuk mengabarkan bahwa Axel sudah siuman.
Tak berapa lama kemudian dokter Augustian pun datang dan langsung memeriksa kondisi Axel pasca siuman. Setelah mengabarkan bahwa kondisi Axel mulai membaik, sang dokter pun pamit kembali dan menyuruh Axel istirahat dengan di temani jevandra.
Jevandra masih terdiam karena tidak tau harus bereaksi seperti apa. Dia senang akhirnya Axel siuman tapi melihat kondisi Axel yang sangat memprihatinkan pun membuat jevandra tak kuasa. Ia hanya sibuk mengusap usap tangan Axel tanpa membuka suara, sedangkan Axel yang merasa diabaikan pun mencoba membuka suara setelah merasa kondisinya mulai stabil.
"Maafin saya," ucap Axel tiba-tiba.
Jevandra mengangkat pandang nya dan menatap Axel yang juga menatapnya sendu.
"Maafin saya karna nggak jujur sama kamu. Saya cuma nggak mau kamu kecewa," ujar Axel yang sudah merasa tidak bisa menyembunyikan apa apa lagi dari jevandra karena dengan kejadian ini tentu saja jevandra sudah mengetahui semuanya.
"Saya nggak mau bikin kamu kecewa, Jevandra. Saya penyakitan, yang mungkin gak akan bertahan hidup lebih lama. Saya takut kamu kecewa." tutur Axel mengeluarkan rasa bersalahnya karena sudah membohongi jevandra selama ini.
Jevandra menatap Axel dengan tatapan penuh luka sambil menggelengkan kepalanya. "Lo salah, Cel. Justru gue bakalan kecewa kalo tiba-tiba gue kehilangan lo tanpa tau penyebabnya," balas Jevandra. Ia menggenggam tangan Axel. "Jangan kayak gini lagi cel, lo bikin gue takut kehilangan."
Axel masih terdiam menunggu jevandra mengeluarkan semuanya.
"Kenapa lo nggak jujur dari awal kalo lo ada sakit. Lo membaahayakan diri lo sendiri, cel, lo harusnya jaga diri, jaga kesehatan, biar lo sembuh, bukan malah menyembunyikan keadaan yang sebenarnya dan ngelakuin hal yang gak seharusnya lo lakukan." tutur Jevandra panjang lebar.
Axel mengangguk mengerti. Ia sadar dirinya salah karena tidak mau terbuka tentang kondisinya yang sebenarnya.
"Maafin saya. Apa sekarang kamu akan ninggalin saya karna saya penyakitan?" tanya Axel lirih, sebuah pertanyaan yang sejujurnya ia sendiri takut mendengar jawabannya, sebab Axel tidak sanggup kehilangan Jevandra tapi dia akan lebih tidak sanggup jika harus Jevandra yang kehilangan dia.
"Lo ngomong apa sih, gue bakal tetep temenin lo sampe sembuh,"
Axel tersenyum miris. "Kalau sembuh? Kalau nggak? Saya malah akan ninggalin luka buat kamu kalau suatu saat saya pergi, Jevandra,"
"Lo gak boleh ngomong gitu! Lo pasti sembuh dan harus sembuh. Janji sama gue lo harus sembuh!" ujar Jevandra menekankan. Ia hampir saja menangis lagi, namun tiba-tiba Axel mengusap pipinya.
"Saya akan berusaha berjuang. Tapi kamu jangan sedih," pinta Axel.
"Mana bisa nggak sedih, sih, gue sayang sama lo, gue sedih lo kayak gini,"
"Kalau gitu jangan nangis, kamu cowok, harus kuat,"
"Nggak ada sejarahnya cowok gak boleh nangis,"
"Soalnya kamu tambah manis kalau nangis gitu,"
Jevandra menarik napasnya sabar. Dia benar-benar sedang sedih karena kondisi Axel, tapi Axel justru masih bisa bercanda dengan menggodanya?! Jevandra tidak habis pikir. Ia cubit tangan Axel dengan kesal hingga membuat Axel mengaduh kesakitan dan tertawa.
"Lo lagi sakit tapi masih bisa becanda?"
"Maaf maaf, saya cuma lagi menghibur diri.." Axel mengusap kepala Jevandra.
"Lo harus sembuh." pinta Jevandra.
Axel mengangguk. "Apapun akan saya lakukan demi mommy dan kamu."
"Makasih. Gue pegang janji lo." Jevandra memeluk axel lagi, menyandarkan kepalanya pada tubuh samping axel yang berbaring kemudian axel mengusapnya lembut.
Kini axel sedikit merasa lebih lega saat Jevandra sudah mengetahui penyakitnya, setidaknya saat ia harus meninggalkan Jevandra nantinya, Jevandra sudah mengerti apa alasannya.
Tebece..
KAMU SEDANG MEMBACA
Leader vs Kapten [MarkNo] ☑️ READY PDF
RandomPART LENGKAP || FOLLOW SEBELUM MEMBACA Jevandra si Kapten basket vs Axel si Leader grup band. 📌BXB 📌Lokal babangmarkli 2022
Nggak Fokus
Mulai dari awal