°°°°
°°°°

Allahuakbar Allahuakbar...
Allahuakbar Allahuakbar...

Suara Azan yang indah menggelegar diseluruh penjuru Pesantren Religi Indah. Tak ada satupun telinga yang tak mendengarkannya. Para santri dan santriwati pun tentu mendengarkan hal itu.

Azan yang dikumandangkan oleh Raihan membuat semua warga pondok pesantren segera mengambil air wudhu. Namun, berbeda dengan kelima pria yang sedang berada dibelakang lingkungan asrama.

Mirza, Sergio, Raden, Radit dan Pico saat ini bersembunyi. Sesuatu yang sering dilakukan para pria jika tak ada kegiatan adalah merokok. Sama halnya dengan itu, mereka tengah melakukannya. Satu bungkus rokok bermerek Sampoerna mereka bagi untuk empat orang.

"Eh, buset! Udah lima batang lo habisin?" sahut Radit saat Pico mengambil satu batang rokok.

"Gue baru ambil dua batang, anjir!" timpal Sergio.

Orang yang diamuki tak mempedulikannya, pria itu menyesap rokoknya hingga mengeluarkan asap dari mulut. Pico mengambil bungkus rokok dihadapannya lalu melihat isinya.

"Masih ada satu batang. Ambil aja!" ucap Pico yang membuat Sergio dan Radet segera menyambar bungkus rokok tersebut.

"Enteng banget lo ngasih kita satu batang," cibir Sergio.

Pico memutar bola matanya malas. Masih untung dia memberi mereka sisa rokok itu. Diantara mereka berlima, Pico lah yang sangat doyan merokok, kemudian Mirza, Radit dan Sergio hanya sewarjanya saja, mereka tak ingin terlalu banyak menghisap.

Raden? Pria itu adalah yang terpolos diantara mereka. Raden lah satu-satunya yang tak suka merokok. Kenapa? Karena Raden sangat menjaga kesehatan tubuh, dia tau bahayanya rokok untuk paru-paru, dan bukan itu saja, dia merasa engap jika asap rokok masuk kehidungnya. Oleh karena itulah dia akan segera menjauh jika berada didekat mereka yang sedang merokok.

Seperti sekarang, Raden berada di sudut yang terlalu jauh dari keempat temannya. Pia itu hanya cukup melihat mereka dan akan menghampirinya jika melihat tak ada lagi asap yang beterbangan diudara.

"Den, lo gak kesepian disana?" Mirza tiba-tiba bersuara cukup keras agar terdengar oleh Raden.

Sergio, Pico dan Radit sontak ikut menatap Raden. Mereka sempat tertawa melihat salah tingkah Raden.

"Kayaknya lo salah pergaulan, Den," ungkap Pico.

"Sini deh, cobain satu batang aja. Gue yakin, lo pasti ketagihan!" timpal Radit.

Sergio segera merampas bungkus rokok itu yang isinya tersisa satu. "Enak aja lo! Ini punya gue," sarkasnya.

"Yaelah, pelit amat lo sama teman sendiri."

"Bodo amat! Asal gue bahagia, lo pada gak guna."

Radit kembali merampas bungkus rokok tersebut yang membuat Sergio tak terima. Hingga akhirnya terjadi rampas-rampasan antara mereka.

"Jangan pelit sama teman sendir!"

"Gue gak peduli."

"Ini buat Raden, biarin dia coba sekali aja!"

"Raden gak suka rokok."

Disisi lain, Raden memandang malas. Hanya untuk membuat dirinya kecanduan Rokok, kedua temannya ini malah berantem.

"Eh! Mau lo berantem, gue gak akan nge-rokok!" pekiknya.

Tak menyahuti pekikan tersebut, Radit dan Sergio malah melanjutkan pertikaian kecil tadi. Entah bagaimana nasib satu batang rokok yang ada didalam sana. Bungkusannya bahkan menjadi kusut.

"Lepasin, Gio! Gue mau ngasi ini ke Raden."

"Enggak! Ini punya gue."

"Jangan teriak-teriak, nanti ada yang dengar."

"Makanya lepasin rokok, gue!"

"Lo yang lepasin. Jadi teman jangan pelit, kasian Raden seumur hidup belum pernah ngisep rokok."

Masih dalam kegiatan rampas-rampasan, Pico menghempaskan napasnya cukup keras. Pria itu menengahi mereka hingga bungkus rokok tadi jatuh ditangannya.

Pico mengambil sisa rokok itu lalu membakar ujungnya. Mulutnya kini menyesap ujung lain rokok itu sesat kemudian asap berbentuk keluar begitu saja dari mulutnya. Sudah terhitung enam batang untuknya dan itu membuat Sergio menatap tajam.

"Perkara rokok doang!" ucap Pico.

Mirza yang melihat itu terkekeh ditempatnya. Sungguh malang nasibnya Sergio. Pria itu sudah menampilkan raut kesalnya.

"Sepertinya ada yang perlu gue omongin sama kalian," Mirza membuka suara untuk menengahi mereka yang saling berebut tadi.

"Ini tentang ayah gue."

Raden berjalan menghampiri teman-temannya kala melihat raut wajah Mirza yang begitu serius.

"Kemarin, gue sama Pico kembali ke gubuk itu," sambungnya dan itu membuat tiga teman lainnya saling pandang.

"Kok gak bilang sama kita?" sela Sergio.

"Gak sempat karena Raihan mencegah kita keluar. Bahkan ditengah perjalan semalam ada orang yang ikutin kita," sahut Pico.

"Terus, apa yang terjadi setelah kalian sampai disana?"

Kini semua pandangan mereka tertuju pada Mirza. Sesuatu yang membuat mereka pergi ke tempat itu pasti ada sesuatu yang sangat serius.

"Dugaan Pico selama ini benar. Ayah gue masih hidup!"

"ASTAGFIRULLAHALAZIM!!"

Mereka berlima terkejut saat seseorang memergokinya berada ditempat itu.

Sial, mereka kepergok!

Tbc

Bukan Sekedar Santri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang