Ara mencebikan bibirnya, tapi benar juga kata Alien sinting itu, dari pada ia capek mondar-mandir mending ia duduk manis sambil menonton untuk menunggu anak gadisnya pulang.

***

Setalah sampai di tempat tujuannya, Arin langsung turun. Tempat biasa ia melakukan balapan sudah mulai ramai. Ia pun melangkah menghampiri Chlora dan Fio.

"Akhirnya," kata Chlora saat Arin sudah berada di hadapan mereka. "Kirain gue lo gak bakalan dateng."

"Iya, gue benar-benar cemas tau," timpal Fio.

"Lebay lo berdua," sahut Arin. Ia berbalik saat mendengar suara tepuk tangan dari belakangnya. Didapatinya Aryo dan kawan-kawan.

"Halo, Sayang," sapa Aryo.

"Si Lolo temennye Loli, Lo lagi, Lo lagi!" ketus Arin. "Gak usah pakai sayang-sayangan deh! Geli gue!"

"Jangan galak-galak gitu kenapa sih, Say," ucap Aryo. Senyumnya mengembang melihat wajah cemberut Arin. "Dari pada kita main kejar-kejaran mobil, mending lo ngejar gue, Rin."

Arin mendengus. "Lo berharap gue kejar? Sory gue bukan anjing! Lagian gue udah punya Erlan."

"Erlan lagi, Erlan lagi. Bahkan sampai sekarang gue gak pernah liat lo sama Erlan-Erlan lo itu. Kenapa? Apa cowok lo itu pengecut sampai-sampai biarin ceweknya balapan sendirian? Tau jangan-jangan itu cuma halusinasi lo doang? Wake up, please, Rin!" sindir Aryo. Tanpa ia sadar seseorang mendengar percakapan mereka dengan wajah datar.

Tangan Erlan terkepal erat. Ia mencoba menahan emosinya. Ia tak mau apa yang sudah menjadi hobinya ketahuan oleh gadisnya. Selama ini ia selalu membuntuti Arin ke mana pun gadisnya pergi. Ia akan mengawasi gadisnya dari jauh. Bukan! Bukan karena ia tak percaya, tapi hanya untuk berjaga-jaga agar gadisnya tidak terluka.

"Banyak bacot lo, Njing! Jadi balapan gak? Gue gak bisa lama-lama nih, Nyet!" ketus Arin.

Aryo mengangguk. Mereka pun mulai memasuki mobil masing-masing. Aba-aba dimulai. Sorak-sorak penonton pecah. Arin menatap malas jalanan di depannya. Entahlah, moodnya mendadak hilang untuk balapan.

"Go!" teriak pemberi aba-aba lalu menjatuhkan sapu tangan putih.

Aryo mulai melaju kan mobilnya dengan kecepatan tinggi, sementara mobil Arin masih diam di tempat. Ia benar-benar malas melajukan mobilnya. Arin meraih handphone-nya saat ada sebuah pesan masuk. Mata Arin terbelak. Ia pun langsung melajukan mobilnya dengan kencang dan lihai. Di kepalanya masih terngiang isi pesan dari Erlan.

Gue tau lo lagi balapan, Seblak. Sampai lo kalah dan terluka, gue hancurin mobil lo itu.

Arin memggeleng. Ia tak akan membiarkan Erlan menghancurkan mobil kesayangannya. Dengan mudah ia mendahului mobil Aryo. Aryo melongo saat mobil Arin melaju jauh di depannya.

Arin menginjak rem saat melewati garis finish. Ia menghela napas lega. Mobil kesayangannya selamat. Ia tau Erlan tak pernah main-main dengan ucapannya. Bahkan ia ingat cowok sinting itu pernah menghancurkan handphonenya saat ia terlalu asik bermain handphone dan akhirnya jatuh tersungkur.

"Apa pun yang bikin lo terluka, bakal gue singkirin, termasuk diri gue sendiri!"

Arin masih ingat betul dengan perkataan Erlan yang waktu itu, padahal ia hanya lecet sedikit.

Erlan tersenyum puas saat gadisnya menang tanpa lecet sedikit pun. Tak lama kemudian mobil Aryo mencapai finish. Erlan dapat melihat raut gusar di wajah Aryo.

Arin menghampiri Aryo diikuti oleh Chlora dan Fio. "Lo kalah lagi! Oh yah, satu lagi yang harus lo tau, Erlan itu bukan halusinasi gue. Dia nyata! Dia bukan pengecut, tapi dia emang selalu memberi gue ruang, karena hidup gak selalu tentang pacar!"

Arin berbalik menuju mobilnya. "Gue balik duluan yah," pamit Arin pada Chlora dan Fio.

"Sial!" umpat Aryo, sementara Erlan kembali memakai helm lalu melajukan motornya.

***

Arin membuka pintu dengan perlahan. Saat di rasa kondisi aman, ia berjalan dengan pelan menuju kamar.

"Ehem!"

Langkah Arin terhenti saat mendengar suara dehaman. Ia menoleh dan mendapati Mommy dan Daddy menatap ke arahnya.

"Eh, Mom, Dad, belum tidur?" tanya Arin kikuk. Ia pun menghampiri kedua orang tuanya.

"Dari mana kamu?" tanya Ara.

"Balapan, Mom," jawab Arin jujur. Bohong pun percuma.

"Wah terus kamu menang gak, Sayang?" ceplos Vando spontan.

"Alien!" bentak Arin. "Orang mah dibilangin! Ini malah nanya menang apa enggak! Kamu juga! Inget Arin kamu itu cewek, astaga!"

"Yang penting dia kan gakpapa, Nona," gumam Vando.

Ara menghela napas kasar. Diliriknya Vando tajam. "Tidur di luar!" Ara bangkit lalu masuk ke kamar.

Vando melongo, sementara Arin merasa bersalah.

"Daddy," panggil Arin.

Vando tersadar lalu mengelus lembut kepala putrinya itu. "Udah malam, kamu tidur gih."

Arin mengangguk, tak berani membantah. Ia pun masuk ke kamar. Bukan, bukan kamarnya, melainkan kamar Gio yang berada tepat di samping kamarnya.

"Giooooo," rengek Arin sambil memeluk Gio yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Kenapa?" tanya Gio.

"Mommy marah, Daddy disuruh tidur di luar," adu Arin. Rasanya ia ingin mewek sekarang.

Gio tau itu karena mendengar percakapan mereka tadi. "Gak usah mewek, kita temenin Daddy aja tidur di luar."

Arin mengangguk semangat. Mereka pun keluar sambil membawa bantal dan selimut.

"Lah kok kalian belum tidur?" tanya Vando bingung. "Terus itu ngapain bawa bantal sama selimut, Sayang?"

"Kita mau temanin Daddy tidur di sini," jawab Gio.

"Aku minta maaf, Daddy," sesal Arin.

"Gak perlu minta maaf, kamu gak salah kok, Sayang," kata Vando. Kini ia diapit oleh kedua anaknya. Perasaanya menghangat. Kalian tahu? Separuh jiwanya milik istrinya dan separuhnya lagi adalah milik kedua malaikat kecilnya. Ia sangat bersyukur diberi keluarga seperti ini.

"Jangan nangis, Daddy. Aku minta maaf," kata Arin. Ia pun ikut terisak. Air mata yang ditahannya akhirnya mengalir juga. "Aku sayang sama Daddy."

"Aku juga," sahut Gio.

Vando menghapus air matanya. Adakah yang lebih membahagiakan dari ini? Diusap kepala kedua anaknya secara bergantian. "Kalian hidup Daddy, Sayang. Ayo tidur biar Daddy dongengin."

Arin dan Gio mengangguk semangat. Sudah lama mereka tak didongengkan oleh Daddy sejak tidur mereka dipisah. Mereka pun memejamkan matanya hingga akhirnya mereka terlelap.

Rasa kesal Ara menguap melihat kedekatan anak-anaknya dengan Vando. Walau kadang menyebalkan, ia sangat bersyukur Vando tak pernah berubah. Ia pun menghampiri Vando.

"Pindahin anak-anaknya ke kamar gih! Kasian mereka tidur di sini," suruh Ara.

Vando mengangguk. Digendong anak-anaknya satu per satu ke kamar masing-masing. Setelah selesai ia pun merebahkan tubuhnya di atas sofa.

"Ngapain masih tidur di situ? Buruan masuk!" ketus Ara.

Vando pun tersenyum lebar. Ia bangun lalu menyusul istrinya yang telah meringkuk di atas kasur. Ditarik Ara ke dalam dekapannya. "Love you, Nona," gumam Vando lalu mengecup puncak kepala Ara.

Ara tak menjawab. Senyumnya terukir. Tak ada tempat senyaman pelukan suaminya. Hingga akhirnya ia pun terlelap.

Bad Nerd #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang