"Ya Pak?" jawab Ning. Tapi gadis itu tidak membalikkan badannya. Ia masih menghadap meja dapur, hendak mencuci pinggan-pinggan kotor yang tadi dibawakan Nares. "Bapak mau teh?" Ning menawarkan datar, seperti hanya melaksanakan SOP.

"Kemana kamu, malam begini baru pulang?"

"Nganterin pesanan tumpeng ulang tahun, Pak," jawab Ning.

"Dan kenapa laki-laki itu harus mengantar kamu pulang?"

"Karena yang pesan tumpengnya adalah bosnya Mas Nares. Saya antar ke kantor Mas Nares."

Sebenarnya jawaban Ning barusan cocok dengan percakapan yang Arya dengar tadi. Artinya Ning tidak berbohong. Dan harusnya kemarahan Arya mereda. Tapi mendengar istrinya memanggil "Mas Nares" berkali-kali, membuat kemarahan Arya makin menjadi. Cara gadis itu memanggil "Mas Nares" membuat ego Arya sebagai seorang laki-laki terluka.

"Saya nggak pernah melarang kamu buka catering ya, Ning, karena saya pikir kamu tetap bisa mengerjakannya dari rumah. Tapi kenapa kamu malah jadi sering pergi-pergi gini? Apalagi sampai malam gini. Sama laki-laki lain, lagi!"

Ning merasakan tekanan pada suara Arya. Hampir satu tahun menikah dengan lelaki ini, Ning tahu bahwa suara seperti itu pertanda kemarahan. Dan Ning menjadi waspada karenanya. Ia meletakkan pinggan yang baru saja akan ia cuci, dan kini ia berbalik menghadap Arya.

"Saya nggak pernah nyuruh kamu kerja, Ning. Semua kebutuhan kamu dan keluargamu, sudah saya penuhi. Kamu cuma perlu fokus melayani saya. Jadi harusnya, kapanpun saya butuh kamu, kamu ada. Ngapain kamu mesti capek-capek begini sih?"

Ning terkesiap. Arya memang pernah mengatakan hal serupa ini sebelumnya. Tapi kalimat yang digunakan Arya kali ini jauh lebih lugas dan menyakitkan.

"Bagi Bapak, saya ini siapa, Pak?" Ning bertanya. Inginnya, ia bersikap keren menghadapi pria itu. Tapi ternyata ia memang selemah itu. Ning tidak bisa mencegah suaranya untuk tidak gemetar menahan tangis dan marah.

"Jangan mengalihkan pembicaraan Ning!" bentak Arya.

"Bapak yang selalu mengalihkan pembicaraan!" Kali ini gadis kecil itu berani balas membentak. Meski dengan suara bergetar. "Jawab, Pak, bagi Bapak, saya ini apa? Apa Bapak pernah menganggap saya sebagai istri? Atau sebenarnya Bapak cuma menganggap saya sebagai pelacur?"

"Ning! Nggak usah aneh-aneh deh kamu! Nggak usah baper!" emosi Arya makin tersulut. "Saya cuma minta kamu di rumah aja, fokus sama saya aja. Kapanpun saya butuh kamu, kamu ada. Nggak usah kerja capek-capek sampai malam. Apa kurangnya saya sama kamu dan keluarga kamu? Saya nanya gitu doang, kok kamu malah ngomong macem-macem?!"

"Nah itu!" sambar Ning cepat. "Lalu apa bedanya saya sama pembantu merangkap pelacur Pak?"

Dada Arya naik turun, menahan amarah. Dada Ning tidak kalah bergemuruh.

"Bapak ingin saya selalu di rumah, seperti pembantu yang menjaga rumah saat tuannya pergi. Bapak ingin saya selalu ada buat Bapak, melayani Bapak kapanpun Bapak butuh. Untuk tugas itu Bapak membayar saya dengan dalih nafkah dan bulanan untuk orangtua saya. Bapak nggak mau saya hamil, karena Bapak memang nggak pernah menganggap saya sebagai calon ibu buat anak-anak Bapak kan? Bapak cuma butuh tubuh saya kan? Jadi apa bedanya saya sama pelacur, Pak?!"

Ning meraung frustasi di akhir seluruh uneg-uneg yang ditumpahkannya.

Di satu sisi Ning lega karena sudah menumpahkan segala kegundahannya. Di sisi lain ia takut mendengar jawaban Arya. Jika lelaki itu mengkonfirmasi prasangkanya, dirinya harus bagaimana?

Arya memandang Ning dengan tatapan yang intens dan tajam. Ia tidak menyangka akhirnya gadis kecil ini bisa bicara begini.

"Kalau kamu pikir saya menganggap kamu sebagai pelacur, apa sebaiknya sekalian aja saya memperlakukan kamu sebagai pelacur?" tanya Arya akhirnya. Dengan suara berat yang berbahaya. Ia melangkah mendekati Ning.

SLICE OF LOVEDonde viven las historias. Descúbrelo ahora