Jangan Goyah, Ai

Mulai dari awal
                                    

Ibu mengangguk.

"Ternyata selama ini pacarnya Pijar kabur ke luar negeri," kata ibu mengalihkan pembicaraan sambil pandangannya menerawang.

Aku menatap penuh ke wajah ibu. Tentu saja aku sudah tahu itu dari mas Pijar. "Trus?" aku menanyakan pendapat ibu.

"Bagaimana mungkin Pijar bisa berhubungan dengan perempuan seperti itu?" kata ibu dengan nada bergumam dan mengkasihani keponakan kesayangannya itu.

"Ya udah, aku malah seneng Alifa tinggal di sini selama-lamanya, Bu," sahutku ringan.

Ibu kini menatapku dengan tatapan dalam. Agak lama. Lalu perlahan terlihat anggukan ibu perlahan. "Iya, ibu juga nggak keberatan, kok."

Aku beringsut kembali ke depan bersama Alifa.

"Mama, handphone-nya bunyi!" teriak Alifa nyaring memberitahuku sambil tangannya mengulurkan handphone kepadaku.

"Oh, iya, Sayang!" Aku segera meraih benda di tangannya itu. Kuperhatikan baik-baik layar rusak itu sebelum menjawab panggilan. Entah siapa. "Asalamu'alaikum," sapaku dengan senyum sejuk mengingat sosok I am di seberang sana.

"Wa'alaikum salam."

Tapi ternyata bukan I am. Seorang kurir yang hendak mengirim paket dan minta kepastian alamat jelas. Paket? Aku nggak sedang menunggu paket? Aku juga nggak lagi belanja online? Tapi orang itu jelas menyebut nama penerima paket itu aku.

Sambil menunggu paket datang aku sungguh berharap tidak menerima paket dari seseorang yang salah kirim atau salah alamat. Ada berapa banyak nama Dewi Utari di Jakarta? Dengan alamat yang sama? Ah, mana mungkin, sih?

Mas Pijar? Handphone? Aku membongkar isi paket sama ibu dan Alifa di ruang makan. Mas Pijar mengirimiku handphone. Dari mana dia tahu kalau handphone-ku rusak parah dan hanya bisa untuk menelpon saja?

"Oh, waktu itu ibu cerita kalau handphone kamu dibanting sama Alifa. Makanya ia sekarang membelikanmu handphone baru. Dia pikir handphone-mu sudah nggak bisa dipakai," kata ibu menjelaskan dari mana asal muasal mas Pijar tentu tentang riwayat benda berhargaku itu.

Alhamdulillah. Aku nggak perlu minta duit pada ibu buat beli handphone. Aku ke kamar dan kulihat handphone yang sudah terbuka segelnya. Saat kunyalalakan benda itu sudah diset sedemikian rupa. Bahkan sudah ada satu kontak nama tertera, Pijar.

Entah kenapa hatiku tiba-tiba berdesir lirih membaca nama dalam layar itu. Bukan berarti apa-apa. Aku tidak ingin berpikir jauh. Mas Pijar hanya memberi hadiah dan merasa bertanggungjawab mengganti handphoneku yang dirusak Alifa. Itu saja. Tentu saja tidak ada maksud lain. Apalah arti uang empat atau lima juta baginya? Bagiku mungkin besar. Tapi baginya itu tidak seberapa.

Tapi sore itu ayah pulang dengan wajah sumringahnya. Apalagi waktu menyampaikan kabar bahwa aku akan punya motor baru. Ayah membelikanku motor? Bukan. Tapi mas Pijar. Dan aku kembali termangu mendengar kabar yang membuat dadaku kembali berdetak aneh. Uang, handphone, dan kini motor.

"Seharusnya ayah bilang nggak usah, Yah," kataku ingin menolak dengan halus pemberian itu.

"Memang kenapa. Ai? Pijar sudah seperti kakak bagimu. Biar saja dia beliin motor. Kamu akan sering wira wiri ke kampus saat skripsi nanti. Lagian kamu ikut ngerawat anaknya Pijar."

"Tapi aku nggak suka karena merasa seolah dibayar. Aku tulus ikhlas merawat Alifa, Yah," sahutku beralasan.

"Iya, ayah ngerti, Ai, tapi Pijar itu saudaramu. Bukan orang lain. Kalau misalkan orang kayak I am memberimu sesuatu, itu yang perlu dipertanyakan. Karena kalian nggak punya hubungan apa-apa. Baru menjadi pacar."

"Sudahlah, Ai, terima saja. Ibu yakin Pijar ikhlas memberimu hadiah. Dengan saudara-suadara yang lain kayak si Amira, Hasna dan Jamal, dia juga sering ngasih uang dan beli-beliin barang begitu, kok," timpal ibu membujukku seraya menyebut nama-nama sepupuku. Tapi sedetik ibu meralat, "Bukan. Mereka yang suka minta-minta sama Pijar. Kamu jangan kayak mereka itu, Ai. Ibu nggak suka kalau kamu minta-minta begitu meski dengan saudara."

Oh. Kuhembus nafas untuk melegakan nafas di dadaku. Kenapa hatiku mendadak risau? Kulirik Alifa yang tertidur di sebelahku setelah makan tadi. Lalu kembali kuraih handphone dari mas Pijar. Kunyalakan dan kulihat lagi satu nama yang tertera di sana. Dan dadaku kembali bergetar lirih saat pikiran itu datang.

Kenapa mas Pijar mengatakan mengatakan padaku kalau Alifa bukan anaknya? Dan kenapa aku berpikir kalau uang, handphone dan motor itu berhubungan dengan pernyataannya itu. Dia bilang mau mengambil Alifa. Apa benar ia akan merawat sendiri Alifa? Atau ... atau ... apa dia berencana akan merawatnya bersamaku?

"Aku sudah menyatakan pada bulik dan om Hari kalau dia anakku. Maka aku akan mengambilnya dan merawatnya nanti. Alifa cantik, pintar dan lucu anaknya. Aku mulai mengenalnya dan sepertinya aku juga sudah menyayanginya."

Kurasakan gemuruh dalam dadaku mengingat ucapan itu. Oh, aku berharap hatiku tidak goyah.


Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang