Ibu menangis memeluk dirinya sendiri, bersandar di dinding rumah sakit. Memandangi anaknya yang malang yang harus dililit kabel agar bisa bertahan hidup.

Aku tak tahu rasanya, jika ibu berkata begitu mungkin aku memang harusnya tidak ada untuk meringankan bebannya.

Ajaibnya setelah ibu menamparku adikku meninggal, penderitaannya berakhir. Aku sangat senang melihatnya akhirnya bisa lepas dari infus dan seluruh alat-alat medis yang mengikatnya.

Seperti yang sudah ku ketahui sendiri ibu sangat-sangat sedih. Ia bahkan hampir tak makan hanya karna kehilangan anaknya.

Ayahku selalu menenangkan ibu agar tak stres dan makan dengan teratur. Setiap ayah pergi bekerja ibu selalu memukulku dan memarahiku.

"Kau senang kan? KAU SENANG KAN ANAKKU SUDAH MATI?" Ibu selalu menyalahkan ku atas kematian adikku.

"Seharusnya yang mati itu kau, bukan anakku. BUKAN ANAKKU! PERGI DASAR IBLIS!"

Sampai umurku beranjak remaja, aku sekolah. Aku menerima semua cacian dan makian dari berbagai arah. Di rumah, di sekolah bahkan para guru pun menganggap ku aneh.

"Jangan temenan sama dia, dia aneh."

Begitu katanya, aku juga tak butuh teman seperti mereka. Aku murid paling pintar, aku selalu mendapatkan juara dari kelas 1 SD sampai 3 SMA.

Kehidupanku saat SMA mulai berubah, aku sudah banyak belajar dan bisa membaur dengan anak-anak seusiaku. Aku bisa menyembunyikan semua yang kurasakan. Ucapan yang selalu saja dengan logis mulai ku rangkai dengan kata-kata manis agar orang-orang tak menjauhiku dan mau berteman denganku.

Saat itu aku sadar bahwa mereka semua manusia lemah yang hanya terikat dengan kelembutan dan tak tahu cara berfikir dengan logika sehatnya.

Aku memanfaatkan setiap perasaan orang-orang untuk meraih tujuanku. Dengan rupa ku yang cantik aku mampu mendapatkan laki-laki yang rupawan dan kaya raya.

Tanpa tahu seperti ada diri orang lain mereka hanya melihat bagaimana orang tersebut bersikap di depannya.

Saat umurku 19 tahun aku mengandung seorang anak di luar nikah. Aku juga tak menyangka akan jadi sejauh ini.

Ibu dan ayahku selalu marah-marah saat mendengar aku hamil. Karena muak dengan ucapan mereka yang hanya memaki tanpa memberikan solusi akhirnya aku melepaskan mereka dari penderitaan hidup mereka. 

Aku ke sekolah dengan biasa, berita cepat beredar. Bahkan satu sekolah mengetahui bahwa aku hamil saat masih sekolah.

Aku dipanggil ke ruangan kepala sekolah, sebenarnya aku tahu bahwa aku pasti akan dikeluarkan.

"Maaf, tapi kamu sudah tidak bisa bersekolah lagi, karena..."

Dalam hatiku bahkan tak sedikitpun merasa sedih, 'maaf' memangnya anda salah?

"Sekarang silahkan keluar."

"Baik."

Aku mengambil patung pajangan berbentuk burung Garuda di atas meja kepala sekolah dan memukulkannya pada kepalanya.

"Sial darah orang tua."

Darahnya sangat banyak, mungkin kepala sekolah sudah mati. Para guru masuk mungkin sekitar 4 guru laki-laki dan 2 guru perempuan. Mereka bisa dikubur berjejeran di depan sekolah. 

Beberapa siswa seperti ketua OSIS mendengar teriakan guru-guru dan segera berlari ke ruangan kepala sekolah.

"Selamat tinggal ketua OSIS." Aku mendekat padanya dan memberikan salam perpisahan.

Jleb

"Darahnya, jangan dimuntahin ya."

Aku ke kelasku untuk mengambil tas dan pulang. Sepanjang koridor murid-murid melihatku ketakutan. Aku masuk kedalam kelas dan semua orang menjauh. Aku menutup pintu.

"Selamat tinggal semua." Aku tersenyum untuk mereka. Mungkin sekitar 30 murid di sana.

Darah-darah anak perempuan terasa sangat segar, aku sangat suka. Hahaha.

Beberapa menit berlalu polisi datang aku menyerahkan diriku. Sebelum polisi membawaku pergi aku meminta untuk berpamitan dengan sekolahku. "Tunggu sebentar."

"Sampai jumpa semua."

====

Jangan lupa vote dan komen

Kalian bisa kasih saran karena menurutku ini agak gaje gak sih・▽・
Tulis di kolom komentar

WHO WILL WIN [Zodiak Mafia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang