George sekali lagi memukul Joan. Ia menarik kerah baju pemuda kaya itu, memukulnya berkali-kali. Donnie juga berusaha sekuat mungkin untuk menangahi mereka. Tetapi ia dijatuhkan juga berkali-kali oleh George. Pukulan George masih tidak berhenti.
"Kita sudah bersahabat hingga selama ini, Joan. Tetapi persahabatan kita putus hanya sebatas jabatan."
Joan tertawa kecut. "Sejak awal status sosial kita berbeda, George. Kau berharap lebih?"
Satu pukulan, George hanya ingin melepaskan satu pukulan lagi, tetapi terhenti. Donnie sudah berhasil menahannya. Tubuh Donnie memang yang paling tinggi, tetapi kekuatan fisiknya paling lemah. Lihatlah, wajahnya sudah membengkak dengan darah yang keluar dari lubang hidung dan mulutnya.
George berdiri dari tempatnya, nafsu memukulnya hilang. Bahkan nafsu makannya ikutan menghilang.
"Jangan pernah menunjukkan wajahmu di depanku lagi kau rakyat jelata!"
"Joan!" teriak Donnie.
Joan benar-benar terdiam. Tidak ada yang mengejar George. Mereka terdiam di ruangan yang menjadi saksi perjuangan mereka selama ini. Ruangan itu berukuran 7x7 meter. Sebuah apartemen dekat kota yang mereka beli ketika mereka memasuki sekolah menengah atas. Dengan tabungan yang mereka kumpulkan, mereka membelinya dan membayar uang sewaan. Ruangan itu digunakan untuk belajar bersama, atau sekedar bermain di akhir minggu.
"Bukan kau yang melakukannya, kan?"
Joan mengalihkan pandangannya. Ia tengah mengimpres wajahnya dengan es batu.
"Joan!"
Joan menggeleng. "Kenaikan pajak bukan hakku. Tapi aku punya hak untuk keberatan. Hanya saja, seluruh anggota dewan setuju untuk melanjutkan pembangunan infrastruktur di kota. Sehingga pajak dinaikkan. Aku tau kalau George akan tersiksa, tetapi aku berniat membayarkan pajak untuknya. Tetapi dia bahkan tidak percaya padaku."
"Padahal aku berharap kalian sama-sama menurunkan keegoisan kalian. Aku tau niatmu baik, Joan, tapi ada situasi yang harus kau sadari." George berdiri dari tempatnya. Aku mau ke rumah George dulu. Jangan lupa kunci ruangan, Jo. Lantas bergegas keluar dari ruangan itu.
Donnie dulu juga pernah bertengkar dengan George, tetapi tidak pernah separah Joan. Jika Joan dan George berkelahi, mereka akan saling pukul sampai salah satunya pingsan atau menyerah. Donnie itu hanya teman netral. Dia tidak suka bersilat lidah apa lagi bertengkar, sehingga sebisa mungkin ia ingin melalui semuanya dengan damai. Karena itu ia jadi penengah jika Joan dan George lagi-lagi bertengkar. Tetapi kali ini, ia tidak yakin jika semuanya bisa membaik. Baru kali itu ia merasa demikian. perasaannya memburuk.
"Ah, Nak Donnie! Apa kabar? Rasanya ibu sudah lama sekali tidak melihatmu, mau roti dan kopi?"
Donnie tersenyum tipis ketika melihat wanita paruh baya dengan beberapa kerutan di wajahnya dan senyuman manis memanggil namanya. Donnie hanya mengangguk menanggapi wanita itu, lantas duduk di salah satu kursi dan meja bundar kecil di belakang etalase, tempat ibunya George, Mary, tengah menyiapkan makanan untuknya.
"Ibu, bagaimana kabarnya?" Donnie kini membuka suara ketika Marry duduk di hadapannya dengan dua cangkir kopi, dua croissant dan dua keik.
"Ibu sehat, toko roti ini juga cukup menyenangkan. Kenapa dari dulu ya ibu berpikir untuk buka usaha seperti ini?" jawab Mary sembari tertawa kecil.
"Padahal roti ibu yang paling enak di kota ini."
"Ah, bisa saja."
Sejak George memperkenalkan Donnie dan Joan pada Marry, Marry menyuruh kedua bujang itu untuk memanggilnya ibu saja. ia menganggap mereka berdua sebagai putra mereka sendiri. Senang karena George mempunyai teman yang snagat baik tanpa memandang status sosial mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can I Play It Tonight?
Short StoryHanya kumpulan Cerita Berdasarkan lagu-lagu yang ada di playlist ku.
♪Joan - George - Donnie♪ [3]
Mulai dari awal