“Aku lagi capek banget tahu belakangan ini,” celetuk Betha inisiatif mencari topik. Dia mengganti kanal televisi yang sedang ditontonnya bersama Alva karena kanal sebelumnya baru saja menampilkan iklan.
Alva menoleh. “Capek kenapa?” Lelaki itu menyuap satu sendok nasi goreng lagi ke mulutnya.
Betha mengangkat kedua bahunya. “Nggak tahu. Tapi, otak tuh kayak penuh gitu.”
“Mikirin aku?” tanya Alva percaya diri nan acuh.
Betha tertawa kecil. “Pede!” tuduhnya sambil geleng-geleng maklum, “Eh, tapi iya juga,” ujarnya teringat sesuatu.
“Tuh ‘kan mikirin aku.”
“Ih, bukan,” sanggah Betha, “Kamu kemarin mau cerita, ‘kan? Kenapa, sih?” Gadis itu menatap Alva serius.
Alva membalas tatapan Betha beberapa saat tanpa menjawab. Setengah dari perasaannya bingung harus mulai cerita dari mana dan setengah lagi sangat ragu untuk berkata bahwa hubungannya dengan Gamma sudah berakhir. Sedikit banyak, Alva tahu Betha akan menyalahkan dirinya sendiri jika mengetahui hal ini.
“Alva.” Betha melambaikan tangannya di hadapan mata Alva yang hanya menatapnya.
Lelaki itu menoleh ke arah depan lagi. “Aku belum siap untuk cerita sekarang.”
“Oke, nanti aja,” jawab Betha sabar, “Mungkin ada yang bisa aku lakukan biar kamu lebih baik dan nggak terlalu diam seperti sekarang?”
Alva terkekeh lalu mengacak puncak kepala Betha. “Makasih, tapi aku baik-baik saja, kok.”
Betha mengangguk, berusaha mengerti. “Aku di sini seperti biasanya kalau kamu butuh,” ujar gadis itu tulus.
Alva menatap Betha lalu tersenyum. Detik berikutnya dia mengangguk sebagai balasan untuk kalimat yang Betha utarakan tadi.
Mereka menghabiskan nasi goreng dengan obrolan ringan tentang film bioskop yang baru saja keluar dan beberapa berita hangat lainnya. Setelah keduanya selesai, Betha mengambil buku Fisikanya atas perintah Alva dan laki-laki itu mencuci piring yang tadi mereka pakai.
Betha melanjutkan tugasnya didampingi Alva. Iya, didampingi. Karena nyatanya gadis itu bisa mengerjakan soal-soal Fisika tadi tanpa bantuan. Dia hanya lebih fokus sekarang.
“Al,” panggil Betha tiba-tiba.
Alva menyimpan ponselnya sembarangan di atas sofa kemudian sedikit menunduk karena Betha duduk di karpet agar lebih mudah menulis di meja ruang keluarga. “Ya?” jawabnya.
“Aku mau cerita, deh,” ujar Betha sambil masih mengerjakan tugasnya.
“Cerita apa?”
“Kemarin ini Delta sempat nembak aku.”
“Hah?”
“Iya. Terus aku minta waktu buat jawab.”
“Terus?”
“Setelah hari itu, Delta tiba-tiba berubah. Dia menjauh. Kayak antara ada dan tiada gitu loh. Aku bingung ‘kan harus gimana.”
“Sampai sekarang?” tanya Alva, bingung harus menanggapi apa.
Betha menggeleng. “Sampai dua hari yang lalu.”
“Berarti ... sekarang sudah jadian?”
Betha menggeleng lagi. “Delta berhenti.”
“Gimana?” Mata Alva mebelalak seketika.
Betha menyimpan pulpennya lalu berbalik menghadap Alva. Lelaki itu menepuk sofa di sebelahnya, meminta Betha duduk di atas terlebih dahulu. Gadis itu pun berpindah menuruti perintah Alva dengan mudahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVABETH
Teen Fiction"Lo anak IPA, belajar Fisika, 'kan? Selamanya akan selalu ada Betha di antara Alva dan Gamma." **** Kata orang, jatuh cinta itu harus siap sakit hati dan melepaskan. Hal itu dialami oleh Alva, lelaki cuek dengan jiwa kepemimpinan tinggi dan berbagai...
87 - PULANG
Mulai dari awal