"Dijamin lo gue banting ke lantai."
Shareen menahan napas, ekspresinya lagi-lagi serius. "Jadi harus apa? Kamu bisa aja marah kayak gitu beberapa menit lagi."
Kekehan Sunghoon. "Gak usah khawatir, kalau gue marah gue sendiri yang bakal pergi."
"Ke mana kamu pergi kalau rumah kamu sendiri aku tempati?"
"Ada banyak tempat yang bisa gue kunjungi."
"Perempuan-perempuan itu?"
Pertanyaan Shareen barusan membuat Sunghoon menoleh. "Gimana?"
"Perempuan-perempuan itu," ulang Shareen. "Tempat pulang kamu yang lain?"
"Ya, bisa dibilang gitu, atau juga enggak. Perempuan-perempuan yang lo bilang itu cuma jadi tempat salur amarah gue."
Shareen tidak lagi menyahut. Hening mengambil alih.
"Perempuan juga punya perasaan. Mereka juga gak ingin mati, seperti yang aku rasain pertama kali."
Sunghoon kembali menoleh.
Pandangan Shareen tertuju ke langit yang hampir gelap. "Hal yang aku lakuin pertama kali pas liat kamu di lorong itu, cuma kabur. Mereka juga pasti ketakutan dan ngerasain itu. Tapi saat ini cuma aku yang dibiarin hidup."
"Perempuan yang gue bunuh nggak kayak yang lo pikiran. Semuanya udah rusak, udah gagal hidup, gue cuma kabulin keinginan terakhir mereka, mati."
"Yang kamu lakuin itu namanya menghakimi, kan." Nada suara Shareen tetap stabil seperti biasa. "Kamu ngelakuin itu berdasarkan persepsi kamu sendiri."
Biasanya Sunghoon akan tersulut dengan kata-kata seperti itu. Melihat pancaran mata Shareen, dia terbungkam segala bahasa.
Shareen menoleh padanya. Bukan tatapan takut, melainkan tatapan berharap.
"Aku emang bukan siapa-siapa, nyawaku bahkan sekecil ini di tangan kamu." Dia membentuk ukuran debu menggunakan jarinya. "Aku bisa langsung mati kalau kamu mau. Tapi aku harap, kamu berusaha gak ngelakuin itu lagi. Aku tahu ini seenaknya, mungkin aku gak ngerasain betapa tersiksanya. Tapi kalau diteruskan, kamu bisa lebih tersiksa. Jadi lebih baik berhenti sekarang. Gak harus sepenuhnya, tapi sedikit demi sedikit. Kamu harus coba walau rasanya mustahil. Aku tahu ini cara kamu buat bertahan, tapi dilihat dari segi apa pun, ini cara yang salah."
"Ada berapa banyak orang bertahan dengan cara yang baik?"
Shareen menggigit bibir dalamnya.
"Gue rasa dunia gak sebaik itu. Lo juga harus tahu, orang-orang yang bertahan sampe sekarang itu 90% pake cara kotor. Gak perlu jauh-jauh, keluarga lo, atau keluarga gue. Gue gak ngeliat ada perbedaan di antara mereka."
"Dengan membunuh sekali pun?"
"Dengan membunuh sekali pun," tegas Sunghoon.
Shareen membuang mukanya, kembali memperhatikan langit. "Mungkin kamu lupa ada karma di dunia ini. Semua penderitaan yang kamu kasih, apa bayaran yang akan kamu terima?"
Alis Sunghoon tertaut. "Gue sama sekali gak peduli apa pun, bagi gue rasa sakit yang gue rasain lebih penting. Soal bayaran, gue lebih milih membusuk di neraka."
Shareen tersenyum, bukan senyum tulus, terdapat sesuatu yang tidak terjelaskan di wajahnya. "Kamu orang yang punya pendirian kuat. Seharusnya aku tahu saran yang aku kasih gak akan kamu lakuin. Tapi jangan lupa, bukan kamu yang pilih hukuman kamu sendiri. Bisa aja kamu kehilangan seseorang yang berharga di hidup kamu." Gadis itu memejamkan mata. Dia hampir mencapai ambang mimpi jika saja tangannya tidak ditarik tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Psychopatic Guy✓
FanfictionPark Sunghoon, cowok berandalan yang tidak pernah membiarkan siapa pun mendekatinya. Cowok berhati es yang paling badass di sekolahnya. Sunghoon tidak sungkan memukul siapa pun yang menentangnya. ✓Merokok ✓Clubbing ✓Tawuran Orang-orang mungkin meng...
³³. tigapuluh tiga
Mulai dari awal