Bab II

63.6K 2.9K 55
                                    

Qila mengipasi wajahnya yang panas dan menghapus peluh di keningnya. Untung saja proses MPLS di sekolahnya tak berlangsung meriah. Cukup dengan mengikuti upacara senin pagi lalu mendengarkan peraturan sekolah, pembagian kelas dan kemudian selepas istirahat jam pertama akan ada demo ekstrakurikuler.

Qila cukup senang dengan hal itu. Berarti dia tak harus bersusah payah mencari barang atau menyiapkan hal hal aneh. Selintas perasaan bangga menyusup ke dalam dadanya.

ada enaknya juga gak dapet sekolah favorit hehe.

"Aquila Taleetha 10 Ips 2."

"Yes!" Tangan Qila mengepal senang sembari meninju udara.

Masuk IPS adalah cita-citanya sejak SMP. Qila senang dengan pelajaran sejarah dan segala macam hal yang tidak terlalu berkaitan dengan matematika. Walaupun akhirnya ia akan bertemu ekonomi tapi bagi Qila itu lebih baik daripada ia muntah karena kimia, fisika, dan matematika.

Dengan langkah riang Qila berjalan mencari letak kelasnya dan langsung mencari posisi duduk yang strategis. Qila memilih bangku tengah bagian ke dua, menurutnya duduk disitu adalah yang terbaik.

Tidak terlalu depan, tidak terlalu belakang. Perfect!

Dengan perasaan senang dan senyum yang tak pudar, Qila mengeluarkan kotak pensil, buku, dan segala perangkat yang akan ia gunakan untuk berperang. Satu persatu anak kelasnya mulai memasuki kelas dan duduk sesuai keinginan mereka. Bagi Qila, hal seperti ini pun menyenangkan. Berbeda saat SMP dulu dimana tempat duduk sudah diatur berdasarkan peringkat nilai dan catatan prestasi. Sekarang Qila bisa bebas memilih tempat.

SMP-nya dulu adalah sekolah swasta mahal yang dipilihkan oleh ayah. Sistem belajar yang ketat dan ujian berat membuat Qila frustasi bahkan untuk mengingatnya lagi. Kepala Qila berputar memandangi kelas sambil menunggu seorang yang mau duduk dengannya. Qila melemparkan senyum riangnya ketika bertatap dengan mata lain, anehnya tak ada yang balas tersenyum.

Sepertinya beberapa diantara mereka sudah saling mengenal satu sama lain. Mereka duduk dengan teman akrab. Bangku disebelah Qila ditarik lalu seorang lelaki dengan bau rokok yang menyengat dan hoodie hitam lusuh yang tertutup topi duduk di samping Qila.

"Hai!" sapa Qila berusaha ramah tamah.

Sapaan Qila kembali diacuhkan untuk kesekian kali oleh orang yang berbeda. Suasana hati Qila berubah mendung karena tak satupun orang mau berbicara dengannya. Qila mencoba mencium aroma tubuh dan mulutnya. Siapa tahu orang-orang tak ingin berbicara karena ia bau badan dan mulut, kan?

"Hah." Qila mencium aroma mulutnya sendiri namun tak merasakan apa apa. "Gak bau kok."

Lelaki disebelah Qila melirik dengan ujung matanya. Qila yang tak sadar sedang diperhatikan malah sibuk dengan dunianya sendiri.

"Cewek aneh," gumam lelaki itu sebelum menguap lebar.

Kegiatan Qila terhenti saat seorang guru tua berambut pelontos masuk dengan sebuah penggaris kayu besar yang tak pernah Qila lihat.

"Woah..." kagum Qila seorang diri entah pada kepala guru itu atau penggaris ditangannya.

Guru tersebut memperkenalkan diri sebagai wali kelas dan menjelaskan beberapa peraturan kembali. Tak lama beliau meminta beberapa siswa untuk mengajukan diri sebagai perangkat kelas. Qila mengamati sepanjang kelas berlangsung, suasana semakin berisik seiring waktu berjalan semakin siang.

"Itu! Kamu yang pakai topi ditengah. Lepas topi kamu!" Pak Gono menunjuk lelaki samping Qila dengan tatapan garang.

Semua mata tertuju ke tengah. Qila yang merasa tatapan menusuk datang padahal bukan untuknya malah bergerak gelisah. Bisa-bisanya laki laki ini tidur di hari pertama masuk!

Paradise (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang