Perusahaan milik ayah Bian. 

Papa Tama menyadari perubahan ekspresi Tama dan berkata dengan senang, "mudahnya, papa punya trik yang bisa bikin perusahaan kecil itu jatuh. Kamu tau maksudnya?"

Apa orang ini mafia?! 

"Papa udah gila?!" Tama berseru kesal, persetan dengan sopan santun.

Tapi papa Tama tidak tersinggung, dia menjawab dengan tenang, "papa nggak ngusik hubungan kamu sama Bian kan? Papa juga nggak nyuruh kalian putus. Bukannya ini kesempatan bagus buat buktiin apa hubungan kalian benar-benar serius atau Bian cuma main-main sama kamu,"

Tama merasa sangat marah hingga dia bahkan tidak bisa mengumpat dan menelan semua emosi ke dalam tenggorokannya.

Dia benar-benar tidak habis pikir bagaimana papanya bisa melakukan hal kotor yang sepertinya tidak akan dipikirkan oleh orangtua manapun di dunia ini.

"Tenang aja, toh kamu nggak sendirian," Papa Tama menatap Kai, "jagain Tama dan jangan pernah ngasih tau siapapun, kamu bisa bayangin apa yang bakal saya lakuin kalau kamu ngasih tau,"

Alis Tama menyatu saat dia menyela ucapan papanya, "kenapa papa juga nyeret Kai? Dia nggak ngapa-ngapain! Biarin dia milih pilihannya sendiri!"

Papa Tama menghendikkan bahu, "kalian sahabat baik kan? Jadi papa berbaik hati buat biarin dia nemenin kamu," kelopak mata papa Tama menyipit, "kamu harus berterima kasih sama papa,"

Papa Tama menatap Kai dan menyeringai tipis, "kamu nggak ada masalah kan?"

Kai menggelengkan kepalanya, "nggak masalah,"

Tama menatap Kai tidak percaya, "Kai? Kamu nggak usah-"

Kai menganggukkan kepalanya, meyakinkan Tama, "aku pergi, kamu harus tak temenin,"

Papa Tama tersenyum puas dan bertepuk tangan, "Tama, kamu beruntung punya sahabat kayak Kai, jangan lupa bilang terima kasih,"

Kemudian dia berdiri dan mendekati Tama, tangannya diulurkan sebelum menepuk pundak Tama dan berkata rendah, "papa bakal kasih kamu keringanan, kamu bisa ngucapin selamat tinggal tanpa ngucapin selamat tinggal,"

Tama menatap papanya dan dibalas dengan senyuman tipis, "kamu pintar jadi kamu pasti bisa kan?"

Kemudian papa Tama meninggalkan ruang tamu, seperti beberapa hari sebelumnya, dia pergi tanpa mengatakan apapun dan hanya menyisakan atmosfer menyesakkan.

Tama naik ke atas, pergi ke kamarnya dengan terburu-buru. Kai segera mengikuti di belakangnya, mencoba menghentikan Tama untuk bertindak yang tidak seharusnya.

Sebelum Kai sempat mengatakan apapun, Tama pergi ke depan lemari dan meninjukan tangannya yang sedari terkepal ke arah cermin lemari.

*pyarrr*

Kaca setebal 3mm itu hampir setengahnya pecah sementara sisanya mengalami retak-retak dan membuat pola seperti jaring laba-laba. 

Wajah Tama yang dingin seolah tanpa emosi terpantul tak beraturan di sisa-sisa retakan cermin. Potongan kaca jatuh ke lantai dan beberapa di antaranya terlempar ke atas kakinya tapi dia tetap diam seolah tidak merasakan apapun. Tangannya masih terkepal dan kulit di lekukan jari-jarinya terbuka hingga darah merah keluar setetes demi setetes membasahi cermin.

Kaca yang bening itu seolah menangis darah karena bagiannya dihancurkan tanpa ampun.

Manik Kai membulat dan segera menghampiri Tama. Dia menarik lengan Tama agar menjauhi lemari dan menyeretnya ke tempat tidur yang lebih aman.

"Pergi!" Tama berseru dan menarik lengannya yang dipegang Kai dengan kasar.

"Terus biarin kamu ngelempar barang-barang di kamarmu?!" Kai menangkap kembali lengan Tama dan menyeretnya, alisnya menyatu dan dia berkata dengan tegas, "Duduk dan tenangin dirimu dulu!" 

Coalesce [Taegyu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang