Daniel buru buru menggeleng. "Ini bukan salah kamu, maaf Ra aku terlambat." Gumam Daniel sambil terus mengusapi punggung bergetar gadis dalam pelukannya itu. Merapalkan kata maaf yang tidak terhenti karena dirinya, Ara mengalami semua hal buruk seperti ini.

"Sttt, aku di sini. Gak papa, aku di sini." Bisik Daniel pelan, menenangkan Ara yang masih saja larut dalam tangisnya. Bukan karena rasa sakitnya tapi rasa takut setelah ini. Bagaimana jika Daniel kecewa padanya dan berakhir meninggalkan nya? Bagaimana jika Daniel adalah orang yang seperti mereka bilang? Bagaimana jika Daniel marah padanya?

Lama dalam posisi saling memeluk dengan ketakutan masing masing, akhirnya Daniel mengurai pelukan itu dan menjauhkan dirinya dari gadisnya. Ia meneliti lagi kondisi Ara yang sepenuhnya kacau.

Daniel bergerak mengusap air mata Ara yang membasahi wajahnya, dan saat itulah ia menyadari kalau pipi kiri Ara memerah. Ia usap pelan pipinya yang memerah tampak seperti bekas tamparan. Dan benar karena Ara meringis saat Daniel menyentuh pipinya.

Kemarahan nya naik satu level. Matanya kini bergulir pada bibir Ara yang terluka, dan satu lagi level kemarahan itu naik.

Ditambah dengan kondisi leher Ara terdapat bekas memerah melingkar di sana. Daniel paham betul dengan bekas apa itu. Ia memejamkan mata sebentar menahan amarah nya yang sudah nyaris meledak. Belum lagi dengan beberapa tanda keunguan yang tadi coba Ara sembunyikan darinya.

Ia menghela nafas sekali lalu membuka matanya dan salah satu tangan Daniel terulur mengusap lembut sisi kepala Ara sambil terus menatap lekat gadis itu. "Di mana lagi dia nyakitin kamu?" Kedua mata Ara yang berlinang menatap takut takut pada Daniel, apa dia marah padanya?

Ia meremat jemarinya sendiri gugup, ia tidak tau bagaimana cara mengatakannya pada Daniel. Jadi ia hanya menggeleng lemah lalu menetaskan air mata takut.

Melihat raut ketakutan dari Ara Daniel lantas mengusap air matanya lalu tersenyum lembut. "Gak papa, aku udah di sini." Ujarnya sebelum memeluk gadis itu lagi.

"Makasih udah bertahan, dan maaf bikin kamu nunggu lama." Daniel kembali menutup matanya sambil menghela nafas berat merasakan perasaan kecewa pada dirinya sendiri. Ara mengalami ini karena dirinya.

Daniel mengambil jarak dari Ara lalu membuka jaket yang ia kenakan dan ia gunakan untuk membungkus tubuh Ara, karena ia tidak mau Ara merasa malu dengan dirinya. Ia meremas tangan Ara, dan tersenyum sekali lagi.

"Kita keluar dari sini." Ujarnya lembut. Kemudian membopong tubuh lemah Ara ke dalam gendongan nya, lalu berjalan pergi dari ruangan laknat yang sangat ia benci ini.

Ara menyandarkan kepalanya pada dada Daniel dan sedikit merasa lega karena Daniel tidak menunjukkan reaksi seperti yang tadi ada dalam kepalanya, seperti memaki atau bahkan memukulnya karena membuat dirinya menjadi seperti ini. Syukurlah karena Daniel tidak seperti yang mereka katakan.

"Daniel." Panggil nya dengan lirih saat Daniel berhasil membawanya keluar dari ruangan itu. Daniel menunduk sambil tersenyum hangat padanya.

"Makasih." Ujarnya lalu melengkungkan senyum tipis setelahnya.

Melihat Ara yang tersenyum, Daniel merasa sedikit lega karena gadis itu setidaknya masih bisa tersenyum. Lantas ia mendekatkan wajahnya dan mencium kening Ara sebagai balasan.

Lihat kan, Daniel bukan orang seperti itu. Tidak salah kalau Ara sangat percaya padanya.

Ara menutup matanya sebentar dengan senyuman yang tidak luntur. Lalu ia tercekat mengingat dengan sesuatu.

"Daniel, Bian!" Benar, gadis itu. "Bian, tadi terluka. Dia berdarah, Harris tadi melukainya. Daniel, cari Bian Daniel." Ujar Ara dengan panik mengingat gadis yang tadi coba ia selamatkan.

DANIELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang