50. Lelah

117K 16.2K 1.1K
                                    

- H A P P Y R E A D I N G -

***

Suara dentingan sendok yang saling beradu dengan piring terdengar di kediaman keluarga Irawan. Kedua indra penglihatan Araya melirik kedua orang tuanya secara bergantian. Dia sedikit keheranan, mengapa kedua orang tuanya hanya diam saja. Dan juga wajah Mamanya terlihat sedikit murung.

"Ini pada kenapa, sih? Tumben diem-dieman, Papa sama Mama berantem?"

"Enggak Aya, Papa sama Mama baik-baik aja," jawab Irawan.

"Terus kenapa wajah Mama murung? Gak dikasih uang belanja sama Papa?" tanya Araya mencoba mencairkan suasana.

Arumi menatap Araya sembari terkekeh pelan yang terdengar sangat dipaksakan.

"Mana ada Mama murung, Ay. Jangan ngada-ngada kamu," balas Arumi, Mama Araya.

Araya menggigit roti yang sudah diberi selai cokelat kesukaannya. Kedua matanya memicing.

"Jawaban Papa sama Mama kurang meyakinkan. Gara-gara bang Darren, ya?"

"Tau dari mana kamu?" tanya Papa Araya yang langsung mendapatkan lirikan tajam dari istrinya. "Ah, maksud Papa ... kenapa pertanyaannya kayak gitu?"

Araya tertawa pelan. "Sudah Aya duga."

Kedua orang tuanya langsung terdiam. Araya sudah menduga pasti ada kaitannya dengan kedatangan Darren semalam.

"Bang Darren ngomong apa aja semalam?" tanya Araya.

Raut wajah Irawan berubah menjadi lebih serius.

"Abang kamu datang menemui Papa sama Mama untuk meminta izin hidup mandiri," kata Irawan. Araya sibuk menyimak seraya sarapan. "Hidup mandiri dalam artian dia memilih untuk tidak tinggal bersama kita lagi," lanjutnya.

"Bahasa kasarnya dia gak mau satu keluarga lagi sama kita, yakan?" ujar Araya.

"Aya dengerin Mama," ucap Arumi menatap putri semata wayangnya dengan tatapan lembut. "Mama sama Papa udah nyoba buat cegah abang kamu agar tetap tinggal bersama kita, tapi kita gak bisa paksa dia karena ini keinginannya. Dan kamu juga tau bahwa abang kamu sudah bertemu dengan adik kandungnya, iya kan?"

"Putri Papa sudah dewasa, Papa yakin kamu bisa menerima semuanya," tambah Irawan.

"Kamu masih punya Mama sama Papa. Abang kamu juga bilang sama Mama, kalo ada apa-apa atau kamu kangen sama dia, jangan sungkan buat hubungi abang kamu."

Kedua orang tuanya memandang ke arahnya dengan pandangan yang penuh kasih sayang. Araya bingung mesti meresponnya bagaimana. Dia hanya bisa menghela napasnya.

"Iya, Aya paham apa yang diinginkan bang Darren. Selama ini Aya udah bersikap egois, terlalu memaksa bang Darren agar mau menjadi abang Aya." Araya sengaja menjeda ucapannya. "Harusnya Aya mengerti perasaan bang Darren sejak awal," lanjutnya.

Tangan kanan Arumi terangkat mengelus surai lembut milik putri semata wayangnya, dengan senyuman yang penuh keibuan.

"Gak papa Aya, dulu kamu masih kecil belum mengerti apa-apa," ujar Mamanya.

Araya membalas senyuman Mamanya dengan sangat manis. Irawan memandang putrinya dengan bangga.

"Papa bangga kamu sudah bisa berpikir secara dewasa. Mulai dari sekarang, Papa akan kasih apapun apa yang kamu mau."

TRANSMIGRASI ARAYA [SEGERA TERBIT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang