Part 6 - Harus Berakhir

Mulai dari awal
                                    

Di sisi lain, Faiz kian merasa tidak tenang karena dia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menenangkan Nisa.

“Jelaskan! Jelaskan padaku kenapa kamu mau menikahi Syifa ... aku gak mau dengar alasan klise sebelumnya. Jadi, jelaskan yang sebenarnya, Kak, supaya aku bisa mengikhlaskanmu ....”

Nyes!

Dada Faiz mencelos. Dia tersenyum miris pada dirinya sendiri dan merutuki pemikiran dangkalnya.

Bisa-bisanya dia yakin Nisa berniat menggenggam tangannya sampai akhir? Padahal, dia tahu benar, Nisa bukanlah wanita yang akan melanggar batasan normanya sendiri.

Faiz lalu memegangi lengan Nisa.

“Aku jelaskan, tapi kamu tenangin diri dulu ya? Di sini ada banyak tempat wudhu ...”

Membalas dengan beberapa kali anggukan, Nisa bangkit dan mengusap air matanya. Dia lantas bergegas mengambil wudu di tempat terdekat. Setelah itu, dia menemui Faiz yang sudah duduk di bangku dekat pohon kresen.

Saat Nisa duduk, Faiz memulai penjelasannya.

“Tahun lalu ... setelah pengumuman lulus ujian, entah dapat info dari mana, abah tahu aku pacaran denganmu. Beliau marah besar dan maksa aku balik ke pesantren, tepat di malam kita pulang karyawisata. Sampai di sini, aku langsung dijodohin sama Syifa. Abah pikir, aku gak bisa jaga diri jadi lebih baik dicariin pasangan. Cih ...”

Faiz mendecih dan menaikkan rambut depannya ke atas. Pandangannya menatap ke atas seakan menerawang hal-hal di masa lalu.

“Padahal, kamu sendiri tahu aku gak bisa cepet deket sama cewek. Dan selama kita pacaran pun kita gak melakukan apa-apa, kan?” ujarnya kemudian menoleh.

“Tapi ... pikiran orang tua itu selalu berbeda, berlebihan dan merepotkan,” lanjutnya kemudian menatap langit kembali.

“Yah, itu juga benar kalau kamu pikir, aku gak harusnya tunduk dalam perjodohan cuma karena orang tua, aku mengakuinya, Nisa. Aku gak pernah diem dan nurut. Jadi, tolong jangan berpikir, aku sengaja ninggalin kamu karena udah punya wanita lain. Aku sedih dengernya.”

Faiz menatap Nisa dengan senyuman tipis. Nisa hanya memalingkan wajahnya.

“Tapi, itu kenyataan, kan? Kamu memang punya perempuan lain. Karena itu kamu menghilang, bahkan setelah bilang suatu hari kamu pasti menikahiku.”

Mata Nisa menyorot kesedihan yang hampa dan Faiz tak kuasa melihatnya. Rasa bersalah kian mengoyak-ngoyak dadanya.

“Aku bersalah. Maafkan aku.”

Faiz berucap dengan ketulusan. Nisa bisa merasakannya, tetapi bukan itu yang dia butuhkan sekarang.

“Aku bosen denger maafmu, jadi lanjutin aja penjelasanmu.”

Pria itu menghela napas, dia lalu kembali menengadahkan kepalanya ke langit.

“Banyak hal yang aku lakuin buat memberontak. Tapi, akhirnya aku kalah sama abah ... waktu itu ...”

Pikiran Faiz lalu jatuh pada masa beberapa waktu silam.

Sebagai anak yang dibesarkan di pesantren, juga orang yang dikenal menjadi putra kyai, pemberontakan yang dilakukan Faiz tentu harus cocok dengan lingkungannya. Dia bertekad i’tikaf[2] dan puasa tanpa berbuka sebelum khataman Qur’an bi nadhor-nya[3] selesai. Dan ajaibnya dia bisa bertahan selama 3 hari. Tepat di hari kedua, sebenarnya dia sudah khatam dan sudah meneguk air untuk berbuka lalu kembali mengulangi ngajinya. Akan tetapi, di hari ketiga Abah Said menemuinya.

Di tengah malam yang dingin, saat Faiz sedang istirahat dengan bersandar di tiang, abah yang menyayanginya seperti anak sendiri, datang membawa buah-buahan.

Fazahra AkmilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang