Rangkai LXVI : [Tamat]

Mulai dari awal
                                    

Akhirnya, semenjak dua minggu lalu, tepatnya beberapa hari Farren menjalani terapinya, ia menetapkan hatinya untuk berhenti beberapa saat mengurus usahanya lantas pergi ke banyak tempat. Untuk mencari kemudian menolong orang-orang yang sedang membutuhkan uluran tangan. Dari dulu ia bersikap ambisius, mengejar harta, mengumpulkan uang, sampai-sampai tak miliki waktu untuk hal bermanfaat lainnya.

Kekayaan yang ia miliki tidak akan abadi. Wiguna terlampau sadar, esensi keberkahan hidup hanyalah terus berbagi.

Sehari sebelumnya Wiguna berada di Pulau Kalimantan, terlibat kegiatan peduli pada korban pengungsi banjir, sorenya ia kembali terbang ke Pulau Sulawesi dan sampai pada pagi harinya. Dengan tim kepercayaannya, Wiguna melakukan semuanya dengan koordinasi begitu baik. Tim kepercayaannya jugalah yang memaksanya untuk menghadirkan wartawan sebagai press release. Timnya berargumen kegiatan yang mereka jalankan wajib dipublikasi di media massa, tidak bermaksud apapun, sekadar bentuk pembuktian perusahaan mereka telah mengimplementasikan Corporate Social Responsibility (CSR). Yang lantas ditentang Wiguna sebelum pada akhirnya mengalah saja. Tidak salah juga untuk melihatkan citra baik perusahaannya.

"Terima kasih, Pak. Lain waktu, saya berkunjung lagi, daerah bapak punya banyak potensi yang berpeluang besar dijadikan peluang usaha Kawasan pariwisata," Otak cerdas Wiguna mengungkapkan logika bisnisnya, sontak undang tawa renyah dari kepala daerah pertanda setuju. Tatkala mata Wiguna berpaling pada sekeliling, dahinya berkerut pada satu titik, memaku eksistensi mungil yang sedang bersembunyi di balik pohon sembari serupa mengincar tepat pada dirinya lewat kejernihan fokus bulatnya. "Maaf, siapa anak kecil—"

"Ah, dia korban pengungsi juga. Kedua orang tuanya meninggal karena menyelamatkannya. Mungkin efek trauma membuatnya menjadi pendiam dan cenderung mengasingkan diri," Nada wicara dari kepala daerah mengiba, intonasi rendah penuh empati seraya ikuti pandangan Wiguna.

Wiguna tidak tahu, intuitif miliknya tergerak, sudikan sepasang kaki terbalut celana kain hitam berkilau maju. Tinggalkan kepala daerah yang terdiam sesaat ukirkan senyum lebarnya lagi, mengerti.

Sedangkan Wiguna sudah jauh melangkah di depan, menuju pohon berjarak sekitar tiga meter dari posisi semula, memaku setia pada bagaimana perawakan mungil itu sebagian terlihat dari persembunyiannya.

Tatkala tapak kaki berada tepat sejajar dengan makhluk kecil itu, Wiguna sontak keluarkan suara halusnya, "Hei—" Agaknya terdiam sejenak menangkap gelagat panik dari anak itu, kedua tangan mungilnya mengepal, menutupi sebagian mukanya, kendati Wiguna tetap sekadar lebih tahu jikalau sang anak masih mengintip malu-malu lewat sela-sela jemari kecil, "—kenapa bersembunyi di sana? Sini, ceritakan sama Om hal yang mengganggu kamu," otomatis lidahnya mengejakan deret aksara tersebut.

Tiga detik.

Saat anak kecil berjenis kelamin laki-laki itu akhirnya menurut, keluar dari sangkar sembunyinya.

Anak itu berbaju lusuh. Sebagian wajahnya ditutupi helai-helai sedikit panjang. Kedua tangan mungil terkepal di sisi tubuh. Berjalan pelan, tunduk pandangi sandal hijau kodok using dihinggapi banyak debu. Terlampau disayangkan sebab Wiguna melihat kulit anak itu putih bersih, begitu kontras di balik penampilan kumalnya. Hidung mungil itu terpahat mancung. Alis hitam tebal menajam. Pipi gembul berisi. Anak ini begitu manis dan menggemaskan.

"Hei—siapa namamu, boy?" Wiguna bertanya spontan, tatkala deskripsi perawakan anak di depannya sukses bawa logikanya pada satu ingatan. Tentang seseorang familier.

"Darren, O-om."

Pun kemiripan nama mereka terlalu kebetulan untuk Wiguna yang refleks dijejali kerinduan.

"Wah, nama yang bagus—" Wiguna merunduk, merendahkan tubuh, sekadar berjongkok di hadapan sang anak, "Kenapa melihat om dari jauh?"

Terbata, mulut dari kepala tertunduk itu berceloteh berantakan, "Unghmau melihat om aja—? O-om baik. Sudah tolong kami di sini—ungh—" Jemari itu saling bertaut di depan tubuhnya, kulit telapak tangan berkeringat, begitu takut karena berpikir akan dimarahi orang asing akibat kesalahannya. Akan tetapi, kala ingatan murninya terlintas pada pesan orang tuanya, sontak ia mendongak, binar antusias lewat sorot jernih itu padamkan ketakutan secara utuh, tarik sudut bibir berlawanan menyerupai lengkungan merekah di tengah musim semi, lantas suarakan lantang keluguan di pikiran kecilnya seketika, "—papa dan mama bilang Darren harus jadi orang baik, tolong-tolong, seperti Om!"

FearsomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang