T W E N T Y T H R E E

Mulai dari awal
                                    

Mateo memejamkan mata. Mulutnya komat-kamit seakan tengah membaca mantra.

"Masuklah." Terdengar suara bergema dari arah dalam gua.

"Benar dugaanku. Itu peri gua." Mateo menatap mulut gua intens. "Kita masuk."

Ravantino membiarkan Kayla dan Mateo masuk lebih dulu. Ia menyusul kemudian sambil mengawasi sekitar.

Setiba di dalam, mereka disambut oleh kemunculan seorang peri. Ia berpenampilan mirip dengan ketiga ibu angkat Alena. Hanya saja, matanya terlihat lebih bercahaya.

"Mateo, Alpha Lucis, selamat datang. Kayla, akhirnya, kau pun bertandang." Sang peri gua menatap Kayla tanpa kedip. "Ikuti aku."

Tanpa menunggu jawaban, ia segera berbalik dan berjalan lebih dulu. Kayla, Mateo, dan Ravantino pun mengikutinya, mau tak mau.

Di bagian dalam gua ternyata cukup luas, setidaknya sebelum memasuki sebuah lorong tinggi yang mulai menyempit. Meski leluasa berjalan tanpa perlu membungkuk, mereka harus berjalan satu per satu.

Sekitar beberapa ratus kaki dari mulut gua, mereka kembali berada di sebuah ruang cukup lega, tidak terlalu sempit. Mateo memandangi sekitar dengan mata menyipit.

Sang peri menghentikan langkah, tepat di depan sebuah gundukan tanah berbatu. Kayla, Mateo, dan Ravantino pun ikut berhenti melangkah, berdiri bersisian dengan si makhluk itu.

Mateo, Kayla, dan Ravantino sama-sama memperhatikan gundukan tanah tua. Itu terlihat seperti makam seseorang yang sudah cukup lama.

"Sebelum aku memberitahu kalian tentang siapa yang terkubur di sini, aku akan menjelaskan soal diriku secara singkat. Kuharap tidak ada yang menyela selama aku berbicara." Peri itu berbicara tanpa menatap Mateo, Kayla, dan Ravantino.

"Aku adalah peri batu yang jatuh cinta pada seorang penyihir, sekitar ratusan tahun lalu. Namanya Theo."

Mateo sontak tersentak. Ia memandangi makam semakin intens dengan jantung berdebar kencang. Wajahnya mulai berubah muram penuh kesedihan.

Ravantino menyadari pikiran penyihir itu. Ia pun membisu.

Kayla masih menunggu cerita sang peri. Ia semakin penasaran soal apa yang sebenarnya terjadi.

"Di Atxurra, aku membantunya membuat kitab tentang Kaum Yang Tersembunyi. Aku bahkan ikut terlibat dalam pembuatan ramuan dari darah malaikat. Theo menyimpan itu dalam sebuah botol kecil yang menjadi bandul kalung. Dia menyembunyikannya di salah satu labirin gua.

"Lalu mereka mengetahui soal itu. Theo ditangkap dan dirantai dalam mantra. Aku berhasil bersembunyi bersama kitab yang dia tulis. Saat aman, aku menemuinya. Kami hanya sempat berbicara sebentar saja.

"Theo memintaku menyimpan kitab dan memberikannya pada tiga El Xanas peliharaan saudaranya, yaitu kau, Mateo. Aku tak boleh menemuimu langsung atau memberitahumu soal dia saat itu. Ia kuatir akan keselamatanmu.

"Setelah menyerahkan kitab, aku diminta menggunakan mantra pelacak dan memanggil Kaum Yang Tersembunyi, sekedar berjaga-jaga jika ada oculto muda yang tak menyadari jati dirinya, atau belum memiliki kesempatan menemukan kitab itu.

"Aku pun pindah ke sini dan berhasil memanggil ketiga El Xanas, lalu menyerahkan kitab untuk diserahkan kepada Mateo. Setelah bertahun-tahun lamanya menunggu, aku mendengar permintaan tolong seorang nephilim yang tengah sekarat. Ia terlihat memaksakan diri berjalan sebelum terhenti di depan gua ini.

"Aku membawanya masuk. Ia memberitahu semua, tentang namanya, pasukan suci, manusia serigala yang mengejar, dan kekhawatiran mengenai sang istri yang tengah mengandung." Sang peri berhenti bicara.

"Jadi, itu makam si Nephilim?" tanya Mateo, sedikit lega karena itu berarti bukan makam kakaknya.

Melihat sang peri mengangguk, Kayla tak tahan untuk tidak membuka suara. "Lantas, apa hubungannya denganku?"

Kali ini peri menoleh ke arahnya. "Ia ayah kandungmu. Namanya Gelael Alejandro."

Kayla sontak membeku, tak sanggup bicara lagi. Mateo dan Ravantino saling pandang, mulai memahami cerita sang peri.

"Lalu, bagaimana dengan kakakku? Kenapa ia menulis kitab dan begitu menganggap itu sangat penting?"

"Ketika aku menemui Theo lagi untuk melaporkan soal kitab dan nephilim, ia sudah tiada. Hanya tersisa jasad saja. Aku tak bisa menyentuh, apalagi menguburkan, karena ada mantra penolak peri yang mengelilinginya."

Mateo memejamkan mata. Meski sudah mempersiapkan diri, tetap saja hati si penyihir tua itu terasa hampa seketika. Cairan bening hangat mengalir di kedua pipinya.

Ravantino hanya bisa merangkulnya dalam diam. Ia tahu saat ini Mateo tak butuh kata-kata.

"Aku kembali ke sini demi menyelesaikan tugas darinya, dan berharap mendapatkan bantuan kalian, untuk membawa jasad Theo, serta memakamkan dia. Aku ingin dapat kesempatan untuk menjaganya dalam waktu tak terbatas.

"Mengenai alasan dia menulis kitab, itu karena dia pernah menyelamatkan seorang oculto. Ia menganggap makhluk itu sebagai putrinya sendiri. Dia berhasil mendapatkan darah malaikat dan meramunya sebagai obat pengendali.

"Namun, ternyata masih butuh satu syarat lagi, yaitu mate yang harus melakukan ritual pengikat. Itu sebabnya, dia menuliskannya agar dapat membantu oculto-oculto lainnya. Selain itu, ia telah mendapat sekilas penglihatan tentang Kayla.

"Pasukan Suci mengetahui keberadaan oculto yang disembunyikan Theo. Mereka membunuhnya meski ia telah berusaha menjelaskan bahwa oculto bisa dikendalikan."

Kayla mencoba memproses cerita sang peri dalam hati. Ia mulai menyadari betapa beruntungnya dia diundang bergabung ke akademi.

Ia teringat Zavaro. Seketika dia merindukannya dan berharap pemuda itu serta yang lainnya berhasil melaksanakan misi.

"Ini bagus." Ravantino berusaha memikirkan kata-kata yang tepat selanjutnya. "Maksudku, semuanya mulai jelas kini. Tentang ayah kandung Kayla, juga tentang Theo. Terkadang kita hanya perlu menerima kenyataan dan menghadapinya."

Mateo mengusap matanya yang basah. "Ya, kau benar. Aku lega dan berharap Zavaro dan yang lain bisa menemukan sisa tubuh saudaraku itu dan berhasil menjalankan misi."

"Ceritaku telah selesai, demikian pula tugasku. Saatnya kalian pergi," ujar sang peri. "Aku hanya tinggal menunggu kalian memakamkan Theo-ku nanti. Di tanah mana pun itu, aku pasti akan mengikuti dan mendatangi."

Mateo mengangguk penuh haru. "Aku pun akan menyuruh el xanas mengabarimu kelak, jika aku menemukan Theo."

Si penyihir tua dan sang peri batu saling bertatapan beberapa saat lamanya. Ravantino berusaha menyembunyikan senyuman saat membaca kesamaan pikiran mereka.

"Izinkan aku melakukan sesuatu lebih dulu," ucap Kayla lirih, merasa tak enak harus menyela mereka.

"Apa?" tanya peri dan Mateo bersamaan, tanpa mengalihkan tatapan.

"Aku ingin membuat batu nisan untuk ayahku."

Sang peri dan Mateo mengangguk, hampir berbarengan. "Tentu."

*** 

ZORION ACADEMY (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang