Act 02 [Sit Tight]

Start from the beginning
                                    

"Kemaren gue baru ke Bu Yuni, dan itu jadi hari terakhir gue konsultasi sama beliau," kata Sera akhirnya, memecah keheningan. "Dilanjut ke makan malam sama nyokap dan keluarga barunya—termasuk si Dara, dan nenek. I thought it was the best day i ever through, until Dara ruined it." Oh, Chia juga tahu kok soal hubungannya Sera dan tante barunya tersebut. "Kalau aja hari itu dia gak cari masalah sama gue, oh! atau kalau dia bahkan gak datang sama sekali ke makan malam itu, nenek gak bakal marahin gue karena udah bersikap kurang ajar sama dia. Gue gak bakalan ngambek sama nenek, jadi kalau nenek sesak napas lagi, gue bisa cepat-cepat nolong nenek."

Chia diam saja, sementara isakan Sera mulai terdengar. "Sekarang gue sendirian ...," katanya lagi kemudian menutupi wajahnya yang berantakan dengan kedua telapak tangannya. "Kalau gue kuliah di luar negeri ... kalau liburan gue harus pulang kemana? Kalau gue sakit, siapa yang mau repot-repot bikinin air jahe dan ngompres badan gue? Kalau gue dapat penghargaan, siapa yang mau nemenin gue naik ke panggung, kasih selamat dan bilang kalau dia bangga sama gue? Gak ada lagi, gue benar-benar sendirian sekarang, Chi ...."

Dari dulu, Chia memang tidak pintar menenangkan orang yang sedang menangis, gadis itu biasanya hanya menepuk-nepuk tangannya dengan pelan atau menepuk-nepuk bahunya. Tidak ada kata menenangkan—karena dia takut salah bicara—atau pelukan—karena tidak tahu apa hal itu memang harus dilakukan atau tidak. Tapi menurut Sera, memang itulah yang dia butuhkan, yang membuatnya nyaman.

Sera gak butuh kata-kata untuk menenangkannya, karena itu semua terdengar seperti omong kosong, atau sebuah pelukan yang membuat tangisannya semakin membesar. Dia sudah bersyukur dengan keberadaan orang yang ingin mendengarkan semua ceritanya, menuangkan segala hal yang ada di otaknya.

"Kayaknya kalau gue meninggal sekalipun—"

"Gue bakal nangis," kata Chia segera sambil menatap Sera tepat di matanya. Dia berdeham guna menghilangkan rasa gugupnya, namun tidak mengalihkan pandangannya dari arah sahabatnya tersebut. "Jangan pernah mikir kayak gitu, karena gue bakal sedih banget kalau lo meninggal, gue bakal nangis dan patah hati." Chia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain, merasa canggung ketika Sera terus menatap ke arahnya seperti itu. "Makanya jangan mikir kayak begitu lagi, kan lo tahu, gue gak punya banyak teman. Kalau lo pergi, teman gue makin dikit aja dong."

Sera akhirnya mulai tersenyum kecil. "Yaudah yuk, temenin gue ke bawah aja?" Chia mengangguk, dan membiarkan Sera berjalan mendahuluinya.

Sera pikir, kayaknya dia gak perlu secara eksplisit mengucapkan terimakasih kepada Chia untuk kalimat sederhananya barusan.

***

Di luar sana, sudah ramai orang yang datang melayat. Mami dan papinya juga ada di sana, namun saling menjauhkan diri. Akira sedang menyuapi Bian makanan, sementara Dion terlihat mengobrol dengan beberapa tamu, dan Wira—papinya Sera—datang bersama istri barunya, Gita, sedang menyapa tamu yang tidak Sera kenali.

Sera merasa kalau pemandangan itu hanya akan membuatnya semakin terluka, untungnya Chia dengan cepat mengalihkan pandangannya Sera ke arah ruang tamu berukuran kecil tepat di depan pintu masuk rumahnya. Di sana, terlihat beberapa teman sekelasnya yang sudah memakai seragam putih abu-abu, dan beberapa guru yang juga datang.

Ditemani Chia, Sera memilih untuk berjalan ke arah tersebut sambil melebarkan senyumannya dan menyapa teman-teman serta gurunya.

Iya ... dia gak sendirian.

***

Wira dan Julian—papa kandungnya Chia—menjadi partner bisnis dan mulai dekat karenanya. Walaupun Sera baru mengenal Chia ketika mereka masih SMP, tapi entah karena kedekatan keduanya atau karena hubungan bisnis yang pernah terjalin di antara ayah-ayahnya, tapi Chia kini sudah seperti saudaranya saja.

Paint the Date RED [COMPLETED]Where stories live. Discover now