note: bab ini mungkin kelihatan gak nyambung dari bab sebelumnya. karena bab ini menceritakan awal bagaimana para tokoh dalam cerita mulai saling berinteraksi. jadi, bab ini dan (mungkin) beberapa bab ke depan bisa dikatakan sebagai alur mundur. paham gak?
gak paham ya? ya makanya baca aja dan ikuti terus ceritanya hehe:)
⑅ • ⑅
Sial!
Zia hanya bisa merutuk dalam hati karena ketidakhati-hatiannya. Tapi tidak! Bukan Zia yang tidak hati-hati, salahkan saja lawan yang tak sengaja dia tabrak. Gadis itu sendiri sudah melangkah sepelan dan sehati-hati mungkin agar buku-buku paket yang berjumlah lebih dari sepuluh yang dibawanya itu aman sampai ke dalam kelas.
Nyatanya Zia salah. Karena buku paket yang dibawanya bertumpuk—menutupi sebagian besar wajahnya sehingga membuat gadis itu kurang leluasa untuk melihat ke depan. Padahal mulutnya juga tidak tinggal diam—dia memberi sapaan permisi pada setiap orang yang dia lewati. Naasnya tepat di koridor depan kelasnya, Zia menubruk seseorang. Beruntungnya gadis itu tidak sampai terjatuh.
Ingat, bukan Zia yang salah, tetapi dia malah merasa bersalah sekarang. Dia menatap buku paket yang jatuh berserakan dan ... sebuah kamera yang separuh badannya tertimpa buku.
Silih berganti netra bulat gadis itu menatap kamera lalu seorang yang tak sengaja dia tabrak. Sontak Zia membulatkan mata.
“Duh, maaf.” Segera diambilnya kamera itu kemudian diselidiknya apakah ada kerusakan di benda tersebut. Entahlah, padahal Zia sendiri tak tahu-menahu semua hal tentang kamera.
Tak ada balasan. Lawan bicara Zia hanya mengambil alih kamera itu, lalu diperiksanya sendiri. Entah gadis itu tak paham apa yang dicek olehnya, yang Zia tahu, dia terlihat memencet tombol-tombol yang ada di badan kamera.
“Sorry,” kata Zia sekali lagi, menunduk.
Wajah Zia mulai berkeringat. Atmosfer di sekitarnya seolah-olah berjalan sangat lambat dan seperti menertawakan keadaan Zia saat itu. Manalagi sekarang masih jam istirahat, sehingga beberapa orang di sekitar ada yang memperhatikan, namun ada juga yang tak peduli. Gadis itu menelan ludah karena pemilik kamera belum mengeluarkan sepatah kata, membuatnya tambah merasa bersalah saja.
“Kayaknya lensanya cuma sedikit terganggu. It's okay,” katanya datar, kemudian berjongkok untuk mengambil buku-buku yang terjatuh.
“Sekali lagi, maaf. Perlu diganti?” Tatapan Zia mengikuti gerak si lawan bicara. “Eh, biar gue aja.”
Zia ikut berjongkok mengumpulkan buku paket yang jatuh mengenaskan di lantai koridor.
Gadis itu menundukkan kepala sebagai tanda terima kasih setelah mengambil alih buku dari tangan si pemilik kamera. Akhirnya, Zia merasa atmosfer di sekitarnya tidak semencekam beberapa detik lalu. Dia berdeham.
“Makasih. Tentang kamera lo, bakal gue ganti rugi kerusakannya. Nanti gue bakal nanya ke lo untuk nanya lebih jelasnya,” tutur Zia, kemudian segera berlalu memasuki kelas.
⑅ 02: Kizia ⑅
“Kizia Naomi Gretha.”
Gadis itu mengangkat tangan tanda hadir tatkala namanya dipanggil. Pemilik nama lengkap Kizia Naomi Gretha alias Zia bertempat duduk di bangku urutan kedua dari depan dan deret keempat dari pintu kelas—dari lima deret bangku—bersama Dayana Zafira yang lebih dari satu semester ini menjadi satu-satunya teman yang cukup akrab dengan gadis itu.
Hanya memiliki satu teman bukan berarti Zia adalah siswi cupu yang tak bisa bergaul, dia bisa. Hanya saja butuh waktu untuk memilih dan memutuskan untuk berteman atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pal in Love
Teen FictionMenurut Zia, jatuh cinta adalah suatu hal yang sulit untuk dilakukan. Namun, nyatanya melupakan lebih rumit dari yang dibayangkan. Berteman dengan Nathan ibarat mendapat sebuah kutukan bagi Zia. Dia melalui sejumlah masa sulit sebab sebuah rasa yang...