4. Archblood, beep-beep atau bukan?

Mulai dari awal
                                    

Joy terlihat begitu gusar sampai-sampai mengacak rambutnya. “Iya. Mau bagaimana lagi. Kau sedang dalam situasi nggak bisa pilih-pilih. Semakin cepat kita tahu siapa sebenarnya cowok itu, semakin baik buat keberlangsungan hidupmu.”

Aku tak bisa berkata-kata. Semua yang Joy ungkapkan benar. Dilihat dari sisi mana pun situasiku saat ini sama sekali tidak bagus.  Pilihannya adalah: dibakar di alun-alun atau dicap sebagai penguntit. Tak satu pun pilihan tersebut akan menguntungkanku.

Aku memelas pada Joy. “Bisa nggak yang sedikit bermartabat? Yang nggak perlu mengorbankan harga diriku.”

Joy menggeleng. “Nggak perlu dilema. Aku di sini untuk membantumu, bukan? Jika mereka menanyaimu, katakan saja kau sedang mengumpulkan informasi untuk membuat surat permintaan maaf yang bersifat personal untuk Archblood.”

Sudah kubilang kalau Joy memang dapat diandalkan. Teman paling loyal yang tidak akan meninggalkanku setelah semua kekacauan yang sudah kubuat.

Aku memeluknya penuh syukur. “Makasih, Joy. Aku betul-betul berutang banyak padamu—“ aku melepaskan pelukanku saat teringat sesuatu. “Kalau benar dia adalah penyihir, bukannya bagus untukku, ya?”

Joy mendesah sembari memandangiku seolah aku ini gadis dungu atau apa. “Amanda, kau sadar nggak, kalau tidak semua manusia itu baik? Menurutmu, apa hal itu akan berbeda bagi kalian para penyihir?”

Fakta barusan betul-betul menamparku. Jika yang terburuk melibatkan kami mesti bertarung, apa yang bisa dikakukan penyihir amatir sepertiku untuk membela diri.

Joy mengguncang kedua bahuku. “Sudah dulu melamunnya. Cepat buka pintu sialan itu sebelum tubuh kita berubah menjadi lumut.”

**

“Ada yang lain, nggak? Sesuatu yang jarang orang ketahui misalnya?” tanyaku pada siswa kelas dua belas bernama Josef Martin.

Hidung bengkok Josef Martin mengerut, ia seperti tidak tahu atau sekadar tidak ingin memberitahuku saja. “Selain dia bisa minum tujuh botol coca-cola dalam sehari? Sepertinya nggak ada.”

“Kau yakin?”

Josef Martin mengusap rambut hitamnya, melihat ke sekeliling kafetaria dan berkata dengan nada rendah. “Kau nggak akan dapat sesuatu serahasia itu dariku. Saranku coba tanya Sharon, cewek itu tahu lebih banyak tentang Kai lebih dari siapa pun.”

Aku memaksakan senyum ketika mendengar nama itu. “Aku rasa itu tidak perlu, informasi barusan saja sudah membantu.”

“Aku dengar tentang insiden tadi pagi. Menurutku kau nggak perlu sampai menyuratinya atau apalah, Kai memang terlihat seperti anak bandel, tapi dia tetap akan menghargai  sebuah permintaan sederhana yang tulus,” kata Josef Martin.

Andai saja memang hanya pengampunan Archlood saja yang aku cari.

Aku berdiri dan merapikan rok. “Makasih sarannya. Senang bertemu denganmu Josef, dan silakan nikmati makan siangmu kembali.”

Josef tersenyum masam sembari menusuk pasta berwarna hijau dengan garpunya. “Senang bertemu denganmu juga. Omong-omong kalau bisa, lebih baik kau nggak usah memakan sampah ini.”

Aku melambaikan tanganku dan berbalik pergi.

Joy tampaknya sudah mengamankan tempat duduk untuk kami berdua, letaknya di ujung ruangan di dekat pintu. Aku menghampirinya lalu membanting buku catatan kecil yang sedari tadi kubawa.

“Dapat sesuatu yang bagus?” tanyaku.

Wajah gadis itu menggeleng, kemudian melempar buku catatannya juga. “Baca sendiri, deh!”

Amanda Ward : Escape From Black Stone Castle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang