Chapter 5 - The Trials and Tribulations of Ignoring a Hot Doctor

Mulai dari awal
                                    

"Itu bukan kencan, Sasuke."

"Lalu kau ingin menyebutnya apa?" tanyanya geli.

"Kita tidak perlu menyebutnya apa-apa," jawabku.

Sebuah seringaian kembali terpeta di wajahnya. "Mmm hmm." Dia mengangkat telepon dan mulai menekan tombol, tapi aku dengan cepat menekan jariku di tombol penutup telepon.

"Apa kau senang menyiksaku?" tanyaku.

Dia kesulitan menyembunyikan senyumnya. "Sebenarnya, iya."

"Tapi, aku tidak senang dengan ini," jawabku.

"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Sakura." Dia mempermainku, dan aku tidak menyukainya.

Atau mungkin aku menyukainya.

Shannaro.

"Apa kau akan membiarkanku mendikte?" Dia mengalihkan pandangannya dari mataku menuju jariku yang masih kukuh menekan tombol.

Aku menyipitkan mata melihatnya, menatapnya curiga, dan dia melakukan hal yang sama padaku. Aku kemudian melepaskan tombol. Dia menatapku sesaat sebelum kembali menelepon.

Aku berpura-pura menganalisis grafik saat dia mendikte, tapi aku sebenarnya mendengarkan tiap ucapannya. Walaupun dia hanya berbicara tentang UTI seorang pasien dan luka bakar.

Suaranya... menenangkan. Mungkin kalau dia menjadi seorang guru, para siswa akan lebih memerhatikan saat belajar di kelas.

Setelah dipikir-pikir, mereka mungkin akan terobsesi dengan ketampanan Sasuke. Anak-anak gadis akan meneteskan air liur, sedangkan anak-anak laki-laki akan marah karena yang mereka bicarakan hanyalah Sasuke. Kemudian mereka akan iri dan diam-diam menggores mobil Sasuke. Atau mungkin mereka juga akan kagum melihatnya.

Ide konyolku tentang Sasuke menjadi guru buyar saat dia menutup telepon.

"Baiklah, aku kira itu saja. Sampai nanti." Sasuke mendorong kursinya kembali tanpa berkata apa-apa lagi, aku terkejut dan merasa kecewa.

"Kau mau pergi?" tanyaku cepat, dan wajahku langsung memerah saat mendengar suaraku yang terdengar sangat putus asa.

Sasuke kembali melihat ke arahku, dan meskipun dia tidak menyeringai, aku masih bisa melihat kilatan nakal di matanya.

"Kecewa?" Senyuman bengkok kembali menghiasi wajahnya.

Aku mengalihkan pandangan, melihat ke bawah, ke catatanku, merasa malu dan frustrasi. Jelas terlihat kehadirannya memengaruhiku, dan aku benci dia bisa melihat ini dengan mudah.

"Tidak. Tidak apa-apa. Sampai nanti kalau begitu." Aku mencoba bersikap tidak peduli—tapi, Sasuke mendesah dan kembali duduk.

"Aku hanya berusaha membuktikan asumsiku," ucapnya memberitahuku.

"Asumsimu?"

"Kau menyukaiku," jawabnya singkat.

"Tentu saja aku menyukaimu, kalau tidak, aku tidak akan membiarkanmu masuk ke ruanganku."

Sasuke mendengus dan melihat sekeliling. "Jadi, ini ruanganmu sekarang?"

"Di sini ada komputer, kan? Dan di sini tempat di mana aku mengerjakan tugasku. Saat aku tidak diganggu, tentu saja." Aku menatapnya tajam.

"Aku cukup yakin ini ruangan dikte," ucapnya datar.

"Aku cukup yakin kau salah." Aku tersenyum manis padanya, dan tiba-tiba dia mencondongkan tubuhnya ke arahku.

"Kau baru saja mengaku kalau kau menyukaiku," ujarnya.

Aku memutar mata dan bergeser menjauh, sadar dengan jarak yang cukup dekat di antara kami sekarang. Jantungku seperti ingin merobek dadaku.

DOCTOR'S ORDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang