Salah Langkah

Mulai dari awal
                                    

“Beli sendiri,” jawabku setelah memasukkan dua legging ke keranjang belanja.

Fayra menunjuk celana overall yang telah masuk ke keranjang belanjaku. “Heh, bayar sendiri!” seru Fayra sambil melotot pada Alva.

“Semua pilihan Letta ini, aku yang bayar Fay. Sebagai calon suami yang baik, membelanjakan calon istri adalah kewajiban,” jawab Alva jemawa.

“Kalian udah pacaran?” tanya Fayra. Setengah syok setengahnya lagi bahagia. Kenapa Fayra suka sekali aku berakhir dengan Alva?

“Udah jadian, tiga hari lalu.”

“Nggak ada,” tolakku sambil mengambil overall pilihan Alva. Mengembalikan padanya. “Aku bisa bayar belanjaanku sendiri. Dan satu lagi, kita nggak jadian. Aku cuman bilang kalau aku sama Dikta nggak ada hubungan lebih dari sahabat.”

“Bukannya itu artinya kamu nggak mau aku salah paham? Nggak pengen lihat aku sedih? Kamu ngerasa pilu kan pas lihat aku sedih?”

“Nggak gitu konsepnya, Al!” seruku putus asa.

Fayra bergidik ngeri mendengar perdebatan kami. “Ngerasa pilu. Astaga, kata-kata dari mana sih, Al? Dari yang setiap hari kosakatanya cuman oli hidrolik, dinamo dengan berbagai macam PK, piston, pipa silinder, dan teman-temannya. Sekarang ngomong pake kosakata pilu. Najisun anjir.”

Omelan Fayra membuatku terkikik geli. “Kamu pindah ke rumahku aja, Fay. Biar bisa denger dia ngomong yang lebih najis daripada ini.”

Kebersamaan Fayra dengan Alva tak jauh beda denganku dan Dikta. Yang sering ngeri setiap kali salah satu di antara kami bicara tak seperti biasanya. Yang akan tergelak-gelak kalau melihat sahabat kami bisa bucin pada pasangan.

“Terus ngeliat tingkah alay si Alva? Dih, mending liat babi. Najisnya nggak separah dia.”

“Si kambing bacot banget,” maki Alva kesal. “Lagian agama lo apa ngatain babi najis? Tiap pagi sarapan lo bacon, njir.”

Aku berbalik, menatap keduanya yang sudah menyingsingkan lengan baju. Keduanya siap untuk adu mulut. “Kalo kalian masih debat, lanjutin di luar. Aku bakal pura-pura nggak kenal kalian berdua.”

Ancamanku membuahkan hasil. Duo tiang listrik itu akhirnya berhenti berdebat. Mengekor di belakangku tanpa banyak bicara bahkan sampai aku berdiri di depan meja kasir untuk membayar belanjaan. Hadiah untuk bayi Tiara.

Empat puluh menit kemudian, kami tiba di rumah Tiara. Membawa tiga kotak kado berukuran besar. Disambut keluarga besar Tiara dan suami ketika kami masuk ke dalam rumah. Seperti kebiasaan yang dulu, Alva dan Fayra langsung beradaptasi dengan mudahnya. Alva menceritakan bagaimana dia mengantar Tiara ke Rumah Sakit sedangkan Fayra sudah sibuk membicarakan dirinya sebagai perwakilan dari Bangun Megah. Menggantikan Papa dan Mama untuk datang sendiri.

Aku sendiri, duduk di dekat Tiara yang tengah menyusui bayinya. Mendengarkan perempuan ini bercerita panjang lebar perkara baby’s blues syndrome yang sempat menghantamnya selama di Rumah Sakit kemarin. Katanya tiba-tiba dia merasa sedih tanpa sebab. Namun keadaan berangsur membaik karena suaminya suportif.

“Mau coba gendong nggak, Let?” tanya Tiara setelah dia selesai menyusui bayinya.

“Ih, jangan gila kamu, Ti,” ucapku sambil melihat Tiara horor. Aku bukan tipikal manusia yang bisa luwes menggendong bayi.

“Coba aja dulu. Yang penting dari kepala sampai punggung tertopang.”
Tiara bergeser dari tempatnya bersandar dan aku langsung meringis nyeri. Tiba-tiba merasakan perutku tidak nyaman, membayangkan diriku sendiri yang habis di operasi caesar.
Aku menahan napas ketika bayi perempuan itu berpindah gendongan. Dari ibunya ke aku. Tidurnya masih nyenyak setelah berpindah ke pelukanku. Aku memandanginya lama. Awalnya hanya ingin membandingkan mukanya lebih mirip siapa. Tiara atau suaminya. Namun ketika melihat bayi ini tersenyum dalam tidurnya, jiwa keibuanku mendadak keluar tanpa diperintah. Aku seolah tersihir oleh manusia yang baru berumur tujuh hari ini.
“Kan, jadi pengen punya anak,” celatuk Tiara beberapa saat kemudian. Membuat wajahku terangkat untuk melihatnya. Senyum manis Tiara mengembang saat mata kami bertemu. Dia kemudian menyengir lucu setelah menunjuk ke Alva yang berada di luar kamar. “Tuh, calon bapaknya udah ada.”

“Kamu kayaknya masih baby’s blues, Ti.”

Jawabanku membuatnya terkekeh-kekeh. Tak berselang lama, bahan pembicaraan Tiara muncul. Tersenyum lebar sebelum mendekat ke arahku. “Ngomongin apa? Seru amat keliatannya,” ucap Alva ingin tahu. Dia berdiri di dekatku. Tubuhnya condong ke arah bayi dalam gendongan. Wajah Alva hanya beberapa senti dari wajahku.

“Letta katanya pengen punya bayi juga,” celatuk Tiara bersamaan dengan Fayra yang menyusul masuk ke dalam kamar.

“Nikah dulu, baru punya bayi,” Fayra yang menyahut. Dia duduk di sebelah Tiara. Memainkan ponselnya sebentar sebelum akhirnya mulai mengobrol seru dengan Tiara. Membahas perkara berat bedan. Bagaimana bisa berat badan bisa jadi tema yang semenyenangkan ini?

“Mau coba gendong nggak?” tanyaku ketika Alva selesai mengambil kursi dan duduk di sampingku. “Bisa nggak?” lanjutku. Agak ragu-ragu karena tahu bagaimana petakilan-nya Alva.

Alva tak menjawab, dia hanya mengulurkan tangan. Membuatku meninggalkan tempat duduk agar bisa memindahkan bayi milik Tiara ke dalam gendongannya. Luar biasanya, dia lebih luwes daripada aku. Tidak terlihat kaku dan terasa sangat alamiah.

Aku kembali ke tempatku duduk. Memperhatikan Alva yang fokusnya telah penuh pada bayi dalam gendongannya. “Jiwa keibuan kamu kayaknya lebih besar daripada aku,” celatukku semenit kemudian. Lalu merasa menyesal kenapa harus bicara hal random seperti ini.

Alva melihatku sedetik sebelum memamerkan cengiran khasnya. “Aku bisa rawat anak-anak dan kamu bisa bekerja penuh.”

Aku membuang muka seketika. Menyembunyikan wajahku yang mendadak terasa panas. Bagi sebagian besar perempuan diluaran sana, pria yang bekerja keras dan mampu menghidupi istrinya adalah pria seksi. Tapi aku merasa pria yang mau mengurus anak-anak dan mengerjakan pekerjaan rumahan, adalah seksi yang sesungguhnya.

Halo hati, sekarang sepertinya sudah terlambat, kan, untuk mundur?

==

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang