Bab 1.4 Neraka dalam Semalam

Mulai dari awal
                                    

"Mara!" panggilnya, tapi gadis itu bergeming. Tubuhnya telah menyimpan semua kutukan hingga meluap. Jika dibiarkan begitu saja, ia akan berubah dan mengundang monster hitam lainnya untuk keluar dari retakan yang belum sempat ditutup.

Azazel bersyukur telah bergegas mengikuti asal kekacauan, sebab jika ia terlambat sedikit saja, maka sesuatu yang jauh lebih mengerikan bisa saja terjadi.

Pedang di tangan Azazel menghilang. Mata birunya berubah menjadi heterochromia. Ia meraih tangan Mara dan menariknya untuk lebih dekat. Ia meraih kedua pipi Mara yang belum terjangkit kutukan, memaksa untuk menatapnya.

"Ini akan sangat menyakitkan, maka bertahanlah!" bisiknya sebelum menggigit leher Mara yang hitam dengan urat merah berkedut. Taring Azazel menancap seperti vampir. Namun, yang diisapnya bukanlah darah melainkan kutukan.

Mata Mara membola, keningnya mengerut, dan teriakan meluncur dari bibirnya. Jeritan bercampur tangis penuh kesakitan. Ia meraung bersamaan dengan noda hitam pada tubuhnya yang perlahan lenyap. Mulai dari leher, ke bahu, semakin turun hingga kedua tangannya pun kembali seperti semula.

Tubuh Mara langsung lemas, Azazel merangkulnya erat agar tidak tejatuh seraya terus menyerap kutukannya. Ketika kaki sang gadis ikut pulih, mereka sama-sama merosot dan terduduk. Tidak sampai satu menit, seluruh kutukan dilahap habis oleh pemuda berambut hitam itu. Sedangkan Mara terkulai tidak sadarkan diri di bahunya.

Azazel membaringkan Mara dengan hati-hati di atas tanah berumput. Masih banyak hal yang harus ia selesaikan di tempat itu. Terutama Anathema yang tersisa. Mereka yang tadinya berdiam diri, kini kembali bergerak. Dia menjilat bibir seraya lari menuju makhluk itu. Tatapannya berkilat tajam, kuku di tangan memanjang membentuk cakar. Urat tangannya menyembul. Dalam satu lompatan dan cengkeraman, Azazel dapat memutus kepala Anathema.

Gerakannya menjadi lebih agresif dan cepat dari sebelumnya. Bahkan ia tidak memerlukan pedang untuk membunuh semua Anathema yang tersisa. Tangannya masih menggenggam kepala yang baru saja dipenggal, tapi serangan dari belakang menerjang. Ia berguling ke samping untuk menghindar. Detik kemudian berbalik menyerang dan menarik putus kepala Anathema tersebut. Namun, ketika matanya melirik wajah dari kepala yang baru saja ia penggal, jantungnya berdegup kencang.

"Leon?"

*****

Keningnya mengernyit kala membuka mata. Mara berusaha duduk meski nyeri menghujam di setiap persendian. Kepalanya menoleh ke segala arah, tidak ada siapa-siapa. Hening. Ia sedang berada di sebuah kamar yang tidak dikenal. Kasurnya empuk, berbeda dengan kasur yang ada di ruangannya.

Menarik napas dalam, ia menurunkan kaki dan menapaki lantai dengan perlahan. Awalnya berpegangan pada dinding batu, tapi kemudian jadi lebih membaik dan dapat berjalan seperti biasa. Kakinya telah kembali normal tanpa denyut hitam dari kutukan. Namun, perasaan tidak enak mengganggunya walau tidak tahu kenapa.

Ketika pintu kamar terbuka, hal pertama yang ia saksikan adalah bercak darah di lantai hingga dinding. Napasnya langsung tercekat, ingatan terakhir berputar di kepala. Seharusnya ia berada di hutan, di tepi jurang.

"Ma-ma," lirihnya.

Mara bergegas keluar, mengabaikan mayat yang bergelimpangan di halaman rumah asing itu. Ia harus kembali ke tempat sang ibu, tapi baru saja melewati jalan utama langkahnya terhenti. Desa kelahirannya telah berubah. Tidak hanya dua atau tiga orang yang tercabik, tapi hampir setiap sudutnya ada mayat.

"Mama?" panggilnya. Air mata mengalir, menyatu bersama keringat yang bercucuran. "Mama?"

Ia melanjutkan perjalanan sambil memanggil tapi tak ada sahutan. Semakin naik ke atas, akhirnya ia kembali ke tempat terakhir ingatannya. Di dekat jurang yang menghadap ke danau berbentuk memanjang. Mara mendekati sebuah jaket hitam panjang yang menutupi seseorang dengan rambut merah yang sangat ia kenal. "Mama?"

Tangannya terulur, meski bergetar tapi tetap berusaha menyingkap jaket itu. Tubuhnya langsung limbung dan terhenyak ke tanah berumput. "Mama?" panggilnya lagi dengan suara parau. "Mama?" Ia berusaha membangunkan tetapi tubuh dingin dan kaku itu menamparnya dengan sebuah kenyataan telak. Ibunya telah meninggal dunia.

Belum lengkap rasa sakit yang menusuk dada, sudut matanya menangkap sosok lain di samping sang ibu. Pakaian dari tubuh tanpa kepala itu sangat familier. Menolak pikirannya sendiri, Mara merangkak untuk memastikan. Akan tetapi, rambut cokelat dari potongan kepala yang membelakanginya memancing sebuah tangis pilu. "Leon!"

Mara terduduk di antara dua tubuh tak bernyawa yang ia kenali. Dua orang yang sangat berharga. Mereka meninggalkannya, membiarkannya bernapas seorang diri. Sekarang kesendirian terasa begitu nyata. Membuat dadanya berdenyut seperti diremas dan dihujam puluhan jarum.

Matahari terbit tak lama setelahnya. Memperlihatkan dengan jelas neraka yang melahap habis satu desa. Mara menengadah menatap langit. Tenggorokannya begitu sakit karena raung dan tangis yang tidak berhenti. Kepala pun ikut berdenyut seperti akan meledak.

"Ini salahku," lirihnya. Rasa bersalah dan penyesalan menggerogoti, membuat pikiran buruk melintas silih berganti. Seharusnya ia tinggalkan saja desa ini, atau kenapa ia tidak cukup kuat  untuk menyembuhkan semua Anathema agar kejadian ini tak harus terjadi. 

Matanya melirik pedang yang tergeletak tidak jauh dari tempatnya duduk. Ia merangkak untuk mengambilnya. Jika semua orang pergi, maka kenapa ia harus bertahan?

Tangan pucat yang gemetar itu menggenggam pedang dan mengarahkannya ke leher. Akan tetapi, suara langkah kaki mengalihkan perhatiannya. Ada orang lain yang masih bertahan. Mara menoleh dan mendapati seorang laki-laki mendekat. Azazel berdiri menjulang di hadapannya.

"Ikutlah denganku. Kita lakukan penebusan dosa!" ajak pemuda itu dengan nada lembut. Tangannya yang berlumuran darah terulur, menanti sambutan.

Anathema: Sebuah PenebusanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang