[CHAPTER 49] Permintaan Maaf

Mulai dari awal
                                    

    "Ra," potong Ayana. Mendengar Tiara bicara di saat menahan tangisnya, membuatnya ikut merasakan bagaimana putus asanya Tiara. Ayana mengerti alasan Tiara menerima kesepakatan Lily. Bukankah itu tawaran yang menggiurkan? Menyingkirkan Ayana adalah jawaban paling tepat yang harus dilakukan agar dia dapat dekat dengan Adam.

    "Lo berhak marah atau benci sama gue, Ay. Gue ngerti. Tapi gue mohon maafin gue."

    Kepala Ayana terangguk.

    "Lo maafin gue?" tanya Tiara memperjelas.

    Lagi. Kepala Ayana terangguk berulang kali. "Gue maafin lo, Tiara."

    "Semudah itu?!" takjub Tiara hampir memekik.

    "Tapi gue takut."

    "Takut apaan?"

    "Gue takut dia gak akan maafin gue."

    "Nggak usah takut. Dia pasti maafin lo."

    "Lo yakin? Kalau nggak gimana?"

    Adam mengalihkan pandangan. Balas menatap Tiara, yang menemuinya lantaran kecemasan tak berkesudahannya. Sedangkan Tiara yang ditatap membisu. "Gue yakin. Jadi minta maaf atau lo bakalan nyesel."

    Percakapannya bersama Adam tempo hari terlintas. Apa yang dikatakan Adam benar. Ayana sungguh memaafkannya. Tapi bagaimana bisa? "Ay, lo maafin gue gitu aja?" Tiara geleng-geleng kepala mendapati Ayana yang menganggukkan kepala polos. "Ayana, sadar! Gue bikin lo ingat sama masa lalu lo. Gue yang nyelakain lo. Gue pengen buat lo per—"

    "Karena lo teman sebangku gue, Ra," sela Ayana. "Lo pasti tahu kan artinya?"

    Ya, Tiara tahu itu. Pasalnya nasibnya dan Ayana hampir mirip. Sama-sama tidak ada yang menjadikan mereka teman sebangku. Alasannya, jika Tiara karena suara toanya. Sementara Ayana, sebab teman sebangku pertamanya yang entah mengatakan apa terhadap teman-temannya, sampai mereka enggan menjadi teman sebangkunya.

    "Tapi … setelah gue pikir-pikir," Ayana menjeda. "Gue bakal maafin lo kalau lo mau turutin satu permintaan gue. Gimana?" katanya menawarkan.

    "Satu? Lo yakin cuma satu?"

    Ayana mengangguk mantap. "Satu permintaan gak susah, kok."

    "Oke, apa permintaan lo?" ujar Tiara seraya mengangguk. Tak apa yang terpenting, dia tidak terlalu merasa bersalah kepada Ayana yang begitu mudah memaafkannya. Bahkan setelah tahu dialah dalang di balik pengunciannya.

    Ayana membuka suara. Memberitahukan permintaannya yang harus di penuhi Tiara. Yang berhasil membekukan Tiara di tempatnya berdiri. Ingin menolak namun dia tak bisa, mengingat perlakuannya terhadap Ayana. Yang bukanlah apa-apa di banding permintaan sederhana Ayana.

*****

    Bisikan-bisikan menemani perjalanan mereka menuju ke kelas. "Ay," lirih Tiara memanggil nama temannya.

    Seolah tahu kekhawatiran Tiara, Ayana membalas, "Nggak usah peduliin mereka, Ra. Lagian salah kalau kita jalan bareng? Kita kan temenan."

    Tiara dibuat bungkam. Berupaya mengabaikan tatapan orang-orang yang dilaluinya. Jadi begini rasanya berada di posisi Ayana. Yang setiap harinya diiringi bisikan-bisikan pedas. Kenapa dia baru menyadari penderitaan temannya ini? Setelah apa yang ia lakukan kepada Ayana, yang ikut mencaci keberadaannya? Dalam diamnya, rasa penyesalannya makin bertumpuk.

    Langkah kaki mereka spontan terhenti mendapati seorang laki-laki berdiri di hadapan keduanya. Menghalangi jalan kedua bersahabat yang cukup lama tak saling bertegur sapa. "Ngapain lo?" sinisnya.

FLASHBACK [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang