15. 642,5 tahun cahaya

Mulai dari awal
                                    

Untungnya tinggal di Jakarta ialah tidak sulit menemukan toko yang buka dua puluh empat jam, meski berada di tengah kota yang disesaki oleh gedung yang menapaki kaki langit, pasti ada minimal satu toko yang seperti Jia cari.

Lingkungan di sini pun demikian. Berada di belakang deretan hotel serta apartemen membuat daerah sekitarnya selalu ramai, namun baiknya, hari ini lumayan sepi.

Jia lebih suka sepi daripada ramai.

Dari kejauhan papan nama toko sudah tampak di mata, Jia lantas mempercepat laju tungkainya, hendak sesegera mungkin berpijak di sana, membeli semua yang temannya inginkan, lalu pulang dengan tenang.

Akan tetapi rupanya Tuhan tak membiarkan rencananya mulus begitu saja.

Rungunya menangkap suara seseorang yang memecahkan botol kaca, karena rasa penasaran layaknya manusia, ia mencari asal suara dan menemukan hal yang tidak ingin dilihat olehnya.

Di sana ada seseorang yang mengenakan kemeja putih berantakan, di tangannya ia memegang moncong botol yang badannya telah pecah, dan bersiap menancapkan benda itu ke lehernya.

Meskipun suasana tempat mereka berpijak lumayan gelap, namun entah mengapa pikiran Jia segera mengudarakan nama Bintang.

Tungkai Jia segera berbelok menuju sang taruna, ruang imajinya berderu seiring langkah yang kian mendekat kepada pemuda di sana. Dari sanubari terdalam, ia berharap semoga kemungkinan baik masih berpihak padanya.

"Jangan!"

Jia memeluk pemuda itu dari arah belakang dengan tangan kanan memegangi tangan kanannya, dapat ia rasakan ada cairan yang memenuhi telapak tangannya. Dan kala sang dara menatapnya sendiri guna kedua netra, betapa terkejutnya ia mendapati tangan sang pemuda sudah berselimut oleh darah.

Tatapan keduanya bertemu, sepasang mata kelam itu membuat raga Jia terbelenggu, dunia di sekitar pun turut membisu.

Pemuda itu Bintang. Seseorang yang pemudi cari hadirnya.

Bukan kalimat yang lebih dulu terucap dari si pemudi, melainkan likuid dari ujung mata yang meluncur deras menjejaki kedua pipi.

Jia menangis, begitu pula Bintang yang lantas membiarkan botol kaca itu lolos dari jemarinya, lalu pecah sebab beradu dengan dinginnya aspal jalanan.

"Jangan sakiti tangan kamu lagi, Bintang."

──

"Sakit bego, pelan-pelan dong!"

Di bawah papan nama toko serba ada, keduanya duduk menyepi di kursi outdoor yang toko itu sediakan. Sembari Bintang yang kian memuntahkan makian, Jia pun turut semakin gencar membubuhi luka pemuda itu dengan obat merah yang baru ia beli di dalam.

"Ah lo gak bisa pelan-pelan apa gimana sih?! Berantakan gini. Udah ah sana lo jauh-jauh! Biar gue aja sendiri," ketus Bintang sambil jemarinya hendak mengambil alih tisu yang dipegang Jia, pemudi itu lantas memukul tangan Bintang.

"Banyak mau banget. Kalo gak mau gue obatin harusnya lo lari ke Rumah Sakit, bukan malah nyasar ke sini," sahut Jia turut merasa jengkel, rasanya ia ingin meninggalkan Bintang sendirian di sini, namun hati nuraninya justru berteriak melarang keras.

"Ya lo sendiri kenapa nolongin? Harusnya biarin aja, biar sekalian gue mati di situ," ujar Bintang terdengar asal-asalan, kalimat yang mengecup rungu itu lantas memicu sang lawan bicara melotot lalu menempelkan tisu berisi obat merah ke dahi Bintang secara asal-asalan pula.

"Mulut lo ya!" Jia terus menekan luka yang berada di dahi Bintang, sampai ia menyadari bahwa pemuda itu memiliki tahi lalat kecil di ujung bawah mata sebelah kanan, ditambah netranya-yang ternyata tidak terlalu tajam-menambah kesan kalem dari laki-laki ini.

Betelgeuse [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang