"Jadi Jennie ke sini untuk menjenguk, ya?" Pertanyaan Ibu Taehyung mengudara sesampainya wanita itu di ruang tamu untuk menyajikan biskuit dan segelas minuman hangat. Senyumnya penuh ketulusan dan mampu membuat siapa pun terpesona pada tutur kata yang ia lontarkan.

Jennie pun mengucapkan rasa terima kasihnya sedetik sebelum menjawab pertanyaan tersebut. "Iya, Bi."

"Seharusnya tidak perlu repot-repot datang."

Lihatlah betapa menyebalkannya pemuda dingin tak berperasaan satu itu! Jennie mungkin akan melemparinya dengan berbagai omelan andai saja calon ibu mertuanya tidak berada di sini. Tega sekali Taehyung itu!

"Kalau berani menjenguk sendiri, berarti sudah dekat, 'kan?" tanya Ibu Taehyung lagi. "Sudah terbiasa dengan mulutnya yang luar biasa menyebalkan atau belum? Kalau belum, Bibi meminta maaf ya? Dia memang punya masalah tentang komunikasi yang baik terhadap sesama."

Jennie buru-buru menggeleng kepada wanita baik itu. "Tidak perlu meminta maaf, Bi. Jennie sudah terbiasa dengan itu." Jelas sekali ada sindirian dalam lirikan mata gadis itu terhadap Taehyung. Namun, tampaknya pemuda itu enggan menanggapi lebih jauh.

Hujan mengguyur cukup lebat di luar sana tanpa adanya petir. Itulah sebabnya Ibu Taehyung membawakan Jennie minuman hangat yang sekiranya mampu mengurangi hawa dingin yang tercipta sejak tadi. Kini gadis itu menyesap minumannya dengan cangggung sambil memperhatikan sekeliling. Sebenarnya Ibu Taehyung sudah cukup mengenal Jennie, orang pertama yang menjadi topik cerita Taehyung mengenai lingkungan sekolahnya di luar daripada lingkup akademik. Ternyata gadis yang kerap menjadi alasan senyum tertoreh pada paras tampan Taehyung itu lebih cantik dari apa yang ia kira. Pantas saja pemuda itu jatuh hati.

"Sebelumnya Bibi ingin meminta maaf, tetapi saat ini Taehyung masih belum dalam kondisi yang baik setelah pulang dari rumah sakit dan membutuhkan banyak waktu untuk istirahat. Apakah tidak apa-apa kalau dia kembali ke kamar?" tanya Ibu Taehyung dengan sangat hati-hati.

Jennie memandang pemuda itu sekali lagi dan menangkap sorot tak nyaman di sana. Meski dengan berat hati, ia pun mengangguk. "Tidak apa-apa, Bi."

"Kalian mengobrolnya di kamar saja ya? Tidak apa-apa, Bibi tahu kalian juga butuh waktu untuk berbincang berdua saja."

Perkataan tersebut mengundang keterkejutan dari dua remaja itu. Belum sempat salah satu dari mereka menolak, Ibu Taehyung justru sudah memanggil suaminya untuk membantu putra mereka naik ke lantai atas. Mau tidak mau, Jennie mengekori langkah mereka sebab lengannya sudah digandeng oleh wanita berparas dewi tersebut. Sebenarnya kedua orangtua Taehyung tidak benar-benar mengantar sampai ke dalam kamar, melainkan berhenti di depan pintu. Sepertinya mereka menghargai kecanggungan yang akan timbul jika mereka benar-benar meninggalkan kedua insan itu di kamar.

Sepeninggal kedua orangtua Taehyung, terjadi jeda cukup lama hingga pemuda itu benar-benar membuka pintu kamarnya. Awalnya Jennie berpikir bahwa Taehyung mungkin kesulitan menemukan keseimbangan untuk mendorong pintu kayu tersebut mengingat ia baru saja kembali dari rumah sakit, tetapi perkiraannya salah. Dibandingkan mengumpulkan kekuatan, pemuda yang kini telinganya sukses memerah sempurna itu nyatanya berusaha keras untuk mengumpulkan keberaniannya untuk menunjukkan isi dari kamarnya kepada Jennie.

"Taehyung, kau—"

"Maaf karena tidak izin."

Jennie tak pernah menyangka bahwa pemuda dingin yang kerap kali memberikannya debaran sialan dan rasa khawatir menggebu-gebu ini mencurahkan banyak waktu untuk melakukan hal yang sungguh tidak disangka seperti ini. Ia pikir ketertarikan Taehyung akan seni adalah hal sepele yang tidak perlu terlalu dipikirkan, tetapi melihat satu kanvas besar yang menunjukkan wajah yang tak lain adalah dirinya sendiri berdiri tegak di sana ia jelas mengurungkan pemikirannya tersebut. Kekasihnya sungguh seorang seniman! Ia menoleh dengan mata berkaca-kacanya, lalu dengan cepat memeluk pribadi tinggi itu dengan erat.

Dear You, Kim Taehyung [on going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang