9. Angin Malam

Mulai dari awal
                                    

"ihhh curangg... kenapa ga kuliah? Dahlah Aku juga gamau kuliah kalo gitu. Biarin wleekkk" ujar nya.

"serah Lu dah yang penting Lu seneng. Yang ada entar Lu di gaplok ama Mama. Mampus Lu."

"enggak wleekkk... Mama ga bakal marah, karena Aku bakal bilang kalau Aku mau bantu Kamu buat beresin rumah."

"ihh si anjing bawa-bawa Gua pula. Dah dah tidur sono biar besok ga kesiangan." Ucapku kesal sedikit.

(Astrid tiba-tiba menyandarkan kepalanya ke bahuku dan tertidur).

"haduhh... bocah, bocah. Ada-ada aja kerjaannya." Ucapku menggendong Astrid untuk tidur kembali ke kamarnya.

"aaaa.... gamau. Aku mau tidur samping Kamu di sana." Ia merengek tak ingin pindah.

"yaudah iya, ambil bantal dulu sono biar ga sakit leher Lu."

"hemm... Semesta boleh ga dongengin Astrid biar Astrid tidur?"

"idih... jijik banget Gua denger Lu ngomong pakek nama gitu."

"ish Anjing banget deh. Yaudahlah ngambek Aku."

"iya iya Gua ceritain." "mau cerita apa?"

"cerita masa lalu Kamu. Lanjutkan."

***

"Nay, Gua ama Lu masih pacaran kan? Lu udah tau kan kabar Gua kemaren apa? Ga mungkin Lu ga tau.. orang satu sekolah juga tau kok." Ucapku istirahat kelas.

"tau kok Mes. Tapi Gua ga peduli. Gua tetap sayang sama Lu apapun yang terjadi. Gua yakin Lu bisa jadi lebih baik." Jawabnya.

Semesta remaja bukanlah Semesta yang mengerti begitu rumitnya dunia percintaan. Ia hanya tau kalau cinta adalah kata lain dari bahagia. Tapi pada dasarnya ia tidak mengerti kalau cinta juga kata lain dari kehancuran.

Orang yang mengenal cinta akan merasakan dua hal yang sangat bertolak belakang. Kondisi dimana ia harus menjadikan prioritas baru untuk dirinya yang sebetulnya ia sendiri tidak ketahui kenapa ia harus melakukannya. Itulah Semesta remaja. Ia hanya berjalan sesuai dengan hati nuraninya, egois dan tidak mau jadi apa yang harusnya ia lakukan. Dan Aku menyebutnya sebagai "Manusia".

"oh iya, bentar lagi kan ada pemilihan OSIS, Lu nyalon ya. Nanti Gua bilangin ke guru biar nama Lu masuk nominasi ketua OSIS. Gimana? Mau kan? Kalau Lu mau, Gua bakal jadi wakil Lu, dan Gua bakal nemenin Lu. Gua yakin kok kalau Kita bakal menang." Jelas Naya padaku.

"boleh. Tapi Gua agak ragu kalau siswa bakal nerima ketua yang kayak gini. apalagi soal kasus Gua yang kemarin. Gua takut Kita kalah. Enak kalau kalah dengan ada yang milih. Gimana kalau ga ada yang milih Kita sama sekali. Gua gamau Lu malu gara-gara Gua."

"it's okay. Gua yakin kok Kita bakal menang. Percaya aja."

"oke Gua percaya sama Lu. Kita maju." Ucapku sambil senyum.

***

"yah dah tidur nih anak. Gapapa. Biarin paha Gua pegel. Yang penting nih anak ga bawel." Ucapku melihat Astrid tidur dengan lelap.

Aku tau mungkin Aku tak pantas untuk merasakan ini semua. tapi tolong Tuhan, jika bisa Aku ingin semua ini menjadi waktu yang lama. Aku sayang keluarga ini. Mereka bisa menerimaku bahkan menganggap ku sebagai bagian dari diri Mereka sendiri. Aku percaya, nantinya Aku akan menjadi tempat terbaik untuk setiap orang bersandar. Tapi yang penting menurutku, keluarga kecil ini harus bahagia lebih dari apa yang Mereka berikan padaku. dan Mama, akan menjadi orang yang sangat Aku sayang sampai nanti Aku sudah tidak bisa hidup dengan Mereka lagi.

Setidaknya malam ini tak terlalu sunyi lagi. Aku sudah tidak hanya mendengar suara jangkrik dan gemuru angin sahaja. Namun, suara dengkuran keras dari wanita cantik ini membuat semunya terasa tak begitu hampa. Jika Kalian bertanya bagaimana suaranya, coba Kalian dengar nyaringnya suara paus, itulah suara Astrid ketika tertidur.

Aku hampir tak mengerti kenapa keluarga kecil ini masih mempercayaiku walaupun Astrid sudah tau kalau Aku mantan pengkonsumsi sabu. Bukannya takut atau menjauhiku, tapi wanita mungil ini malah semakin penasaran dengan jalan hidupku yang lalu. Sampai tak tega untukku menolak jika ia ingin mendengar semua ceritaku. Dan satu hal yang pasti, Aku senang ada yang bertanya bagaimana hariku walaupun ia tau kalau Kami di satu kampus, satu fakultas, bahkan satu kelas yang sama. Seperti semuanya tak ada yang ia ingin lewatkan. Bodoh ya, padahal sepanjang kampus, ia selalu mengikuti ku. Bahkan ketika Aku ke kamar kecil pun, ia menungguku di depan pintu masuk agar tak melewati waktu yang ingin ia habiskan bersamaku.

Di kampus, Aku dan Astrid sering sekali duduk di danau kecil sambil membaca buku dan makan roti buatanku. Sudah pasti dong buatanku, orang si kecil ini tidak bisa masak sama sekali. Dan yaa... selama itu juga Aku dan Astrid dikira banyak orang sebagai pasangan. Haduh.. sudah seperti fitnah berkelanjutan saja jika Aku harus menghitung berapa kali Mereka bilang kalau Aku dan Astrid adalah pasangan. Bahkan pernah sekali sampai ditanya oleh Mereka "sudah berapa lama pacaran? Serasi banget nampaknya." Dan ya.. Aku hanya bisa menjawab dengan "Gua Kakak nya". Capeknya Aku harus menjelaskan kepada orang yang bertanya satu persatu. Seperti tidak ada habisnya sama sekali.

"Mes, Kamu ga takut ya kalau Kamu sakit gara-gara begadang setiap hari?" tanya Astrid.

"Lu udah pernah nanya ini kan?" "jawaban Gua tetep sama. Gua ga takut untuk sakit. Karena Gua bahagia dengan cara Gua hidup. Lu ga perlu khawatir Gua bakal kenapa-napa. Orang Guanya aja udah kenapa-napa." Jawabku.

"ishh Kamu. Besok berhenti begadang ya. Aku gamau Kamu sakit gara-gara begadang terus."

"apapun Gua lakuin buat Lu. Salah satunya ini! harusnya Gua ga kuliah hari ini. tapi demi Lu, Gua rela buat kuliah dan ga jadi beresin rumah."

"bodoamat. Siapa suruh jadi kakak. Kan harus ngalah terus sama Adeknya. Itukan yang biasanya terjadi. Mampus, rasain tu Kakak jelek."

"bacot. Gua gigit juga Lu lama-lama." ucapku menarik tangannya dan menggigitnya.

(Astrid menangis).

"jahat ihh di gigit beneran. Kan Aku main-main doang loh bilang nya. Kok malah di gigit beneran." Ucap Astrid.

"ututututut maaf yaa. Ga sengaja kok. Sini sini Gua peluk." Ini kali pertama Aku meluk Dia demi Dia berhenti nangis. Pasalnya hampir semua orang di pinggir danau melihat ke arahku seolah Aku adalah kriminal.

"gamau damai kalo ga di beliin eskrim dua." Ucap Astrid.

"ihh anjing banget Lu. Pura-pura nangis ternyata ada maunya."

"nangis beneran loh. Masa dibilang pura-pura. Sakit loh tangan ku." "yaudah gapapa. Nanti Aku bilangin ke Mama kalau Kamu gigit tanganku sampe merah." Ancamnya.

"iya iya... tar Gua beliin dua. Jangan nangis lagi."

"tiga."

"mana bisa naik gitu." Ucapku kesal.

"tiga atau bilangin ke Mama."

"iya iya tiga." "dajal emang nih bocah. Gua buang juga Lu ke danau."

(ia kembali pura-pura menangis).

"ehhh malah nangis lagii.." "udah gausah nangis lagi. Main-main loh Gua tu." Ucapku memeluk.

"beliin eskrim empat. Gamau tau."

"naik lagi. Yaudah lah Gua beliin lima." "dah gausah nangis lagi. Diem."

"janji adalah hutang." Ucap Astrid menyodorkan tangannya sambil tersenyum.

"iya janji."

Himpunan Semesta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang