Setelah keluar dari mobil, Gus Zem segera menuju ke ruang IGD dimana sang istri berada. Dengan berlari untuk menuju ke ruang yang akan ia tuju, Gus Zem berusaha untuk tidak meneteskan air matanya.
Tepat di depan pintu, Gus Zem akan membukanya namun suara dari seseorang mengurungkan niatnya.
"Apakah anda keluarga ibu Zira?" Tanya seseorang itu.
Gus Zem menoleh ke arahnya lalu mengangguk. "Saya suaminya." Jawab laki-laki itu.
"Boleh ikut ke ruangan saya sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan." Ujar sang dokter.
Gus Zem mengikuti langkah seorang wanita yang notabenenya adalah seorang dokter, laki-laki itu duduk dengan tenang sebelum sang dokter berbicara.
"Dengan pak?" Tanya dokter.
"Zema." Jawab Gus Zem.
"Pak Zema sebelumnya saya ingin mengucapkan beribu-ribu maaf, saya harus menyampaikan kabar buruk kepada pak Zema tentang janin yang dikandung oleh istri bapak." Gus Zem mendengarkan dengan seksama.
"Saya harap bapak ikhlas ya, istri pak Zema dinyatakan telah keguguran. Janin yang dikandung ibu Zira sudah tidak bernyawa saat kecelakaan itu terjadi." Kalimat lanjutan dari sang dokter itu mampu membuat Gus Zem mematung.
Kabar ini cukup membuatnya terkejut dan kembali merasa bersalah, apakah semua ini gara-gara dirinya? Gus Zem terus menyalahkan dirinya sendiri.
Laki-laki itu tiba-tiba berdiri dengan pandangan kosong, kemudian berjalan meninggalkan ruang dokter itu. Tak sampai keluar dari pintu, Gus Zem hampir saja ambruk jikalau ia tidak menjaga keseimbangan tubuhnya.
Kini tangisannya pecah. "Ya Allah, maafkan hamba...hiks."
"Zira maafkan saya." Ujar Gus Zem memukul dadanya yang terasa sesak. Ia benar-benar merasa bersalah, mengapa disaat kebenaran sudah terungkap dan dirinya sudah mulai menerima kehadiran calon anaknya kini Allah mengambilnya?
Tak ada yang menyadari jika dibalik pintu ruangan dokter yang sedikit terbuka itu ada seorang wanita berdiri di sana, tubuhnya merosot lemas ke bawah lantai.
Ia tidak tahu harus berekspresi seperti apa karena kabar yang ia dengar begitu menyakiti hatinya, hingga tak terasa air matanya kini jatuh tanpa seizinnya.
Zira yang baru saja bangun dari kecelakaan itu harus mendengar kabar yang sama sekali tidak ingin ia dengar, ia mencengkram perutnya. Kini janin yang ia kandung selama empat bulan itu sudah tak ada lagi di dalam perutnya.
🌙
Kembali dari rooftop rumah sakit karena ingin menenangkan diri, kini Gus Zem akan memasuki ruang inap karena Zira baru saja dipindahkan.
Mengingat rasa bersalahnya, rasanya untuk menekan knop pintu ruang inap yang ditempati Zira itu terasa sangat sulit.
Entah bagaimana ia akan menyampaikan kabar ini? Bagaimana respon Zira saat mengetahui jika calon anaknya kini sudah meninggalkannya? Apakah setelah mendengar kabar ini sang istri akan membencinya?
Semua pertanyaan itu telah memenuhi pikiran Gus Zem, ia sudah menjadi laki-laki paling jahat karena meminta sang istri untuk mengugurkan calon anaknya. Karena Gus Zem, ia dan Zira kehilangan sang calon anak.
Memberanikan diri, Gus Zem menekan knop pintu itu. Saat memasuki ruangan ternyata keluarganya dan keluarga Zira sudah berada disini.
Semua mata tertuju pada Gus Zem dengan tatapan yang menyedihkan, terkecuali Zira yang memang sudah sadar. Wanita itu memalingkan wajahnya ke arah lain, rasanya enggan menatap suaminya itu.
"Assalamualaikum bah, ummah." Ujar Gus Zem menyalami semua orang yang berada di sana.
"Waalaikumsalam." Jawab semuanya.
Kini pandangannya teralih pada sang istri, Gus Zem memberanikan dirinya mendekat ke arah Zira.
"Zira." Panggil Gus Zem menyentuh tangan sang istri, namun wanita itu menepisnya dengan sangat kasar membuat laki-laki itu terkejut mengapa sang istri berubah sikap terhadapnya? Apakah ia sudah mengetahui kabarnya? Pikir Gus Zem.
"Kami keluar dulu ya, kalian bicara saja dulu." Pamit kyai Nadim kemudian keluar dari ruang inap disusul dengan yang lain.
Kini ruangan itu tersisa pasutri yang baru saja mengalami hal yang sangat buruk dalam hidupnya. Gus Zem mengelus kepala sang istri yang terbalut hijab, dari tadi Zira sama sekali tidak menoleh ke arah sang suami.
"Zira, makan dulu ya?" Pinta Gus Zem karena melihat makanan yang berada di meja belum tersentuh sedikitpun.
Diam. Sama sekali tak ada jawaban dari Zira, dibalik sana wanita itu kembali menangis. "Hiks..."
"Zira, kamu kenapa?" Gus Zem dibuat panik karena tiba-tiba sang istri terisak.
"Puas kamu mas?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Zira, kini ia menatap Gus Zem dengar tajam serta tatapan kecewa.
Gus Zem menghembuskan nafas, melihat sang istri yang meneteskan air mata membuat dirinya semakin bersalah. "Tolong maafkan saya Zira." Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulut Gus Zem.
Zira tertawa hambar. "Zira tahu, saat ini mas Zema seneng kan? Selamat ya mas, keinginan mas Zema untuk mengugurkan calon anak kita sudah terkabul." Ujarnya penuh penekanan. Air matanya sudah tak terbendung lagi.
"Sama sekali tidak, saya juga merasa kehilangan Zira sama seperti kamu." Sangkal Gus Zem.
"Merasa kehilangan?" Zira mengernyitkan dahinya.
"Selama ini mas Zema tidak menginginkan calon anak kita kan? Bahkan mas Zema tidak mengakui jika itu adalah darah daging mas Sendiri! Terus sekarang mas Zema ngerasa kehilangan?" Ujarnya sedikit berteriak.
"Lucu ya?"
"Zira, tolong maafkan saya. Selama ini saya salah karena tidak mempercayai istri mas sendiri, setelah semua kebenaran terungkap saya sangat menyesal. Maafkan saya Zira." Ujar Gus Zem mengungkapkan.
"Gampang banget? Karena mas Zema, nyawa anak kita hilang. Kalau bukan karena dendam Arkan ke mas Zema, semua ini tidak akan terjadi!" Teriak Zira.
"Setelah semua ini mas Zema hanya minta maaf?"
"Kamu bersama Arkan?" Tanya Gus Zem yang terkejut jika seseorang yang bersama istrinya adalah teman lamanya dulu.
Masa lalu mereka yang membuat Zira kehilangan calon anak mereka, sungguh! Kini Gus Zem benar-benar merasa sangat bersalah pada sang istri. Dendam yang dimiliki Arkan kepadanya di masa lalu membuat sang istri yang terkena imbasnya.
"Saya minta maaf, karena saya kita kehilangan calon anak kita." Ujarnya terdengar menyesal.
"Lalu apa yang harus saya lakukan agar kamu memaafkan saya?" Tanya Gus Zem terdengar putus asa.
"Zira ngga mau lihat mas Zema lagi! Zira benci mas Zema!" Zira menjawab dengan tatapan yang terlihat sangat kecewa.
"Keluar!" Suruh Zira.
Gus Zem terdiam, ya memang ia pantas dibenci oleh sang istri. Gus Zem merasa jika dirinya memang sangat jahat, ia pantas mendapatkan semua ini. Laki-laki itu berdiri kemudian berjalan meninggalkan sang istri yang menatapnya penuh amarah.
Setelah pintu tertutup wanita itu terisak kembali, sebenarnya ia sangat membutuhkan Gus Zem berada disisinya saat ini namun rasa bencinya sangat besar. Karena sang suami ia kehilangan calon anaknya.
-----
To Be Continue
DIMOHON VOTE & COMMENTNYA!
KAMU SEDANG MEMBACA
HAMASAH CINTA (END)
SpiritualReligi - Romance "Dengan cara apapun, pacar kamu ngga akan bisa mengalahkan saya jika lauhul Mahfudz kamu itu saya! Saya dan kamu akan menjadi cinta abadi sampai ke Jannah." - Zema Sa'ad Alamar ____________________________________ Nikah muda. Hal i...
HC | 43
Mulai dari awal