Dirasa matanya sudah memberat, Al melirik jam yang menempel di dinding. Yang menunjukkan pukul sebelas malam. Ia pun mematikan komputernya, lantas melepas kacamatanya.

Al berdiri untuk meregangkan ototnya yang terasa kaku. Kemudian, memilih ke dapur untuk meneguk satu gelas air karena merasa dahaga.

Ia teringat dengan sosok istrinya. Apakah istrinya sudah tertidur atau belum.

Al menaiki tangga satu persatu menuju kamarnya, kemudian membuka kenop pintu dengan hati-hati, takut mengganggu orang yang ada di dalam.

Wajahnya mengerut heran, saat melihat istrinya yang ternyata masih menonton drama korea, mungkin melanjutkan tadi sore yang sempat tertunda.

Al menghampiri dengan hati-hati lantas duduk di sebelahnya, posisi mereka sedang bersandar pada sandaran ranjang.

Emira melirik sekilas suaminya yang ternyata sedang menatapnya, lalu berpindah lagi pada layar yang menyala.

Al tersenyum, lalu mengacak puncak kepala Emira. "Udah malam, tidur." ucapnya lembut.

Emira menahan tangan Al yang bermain di kepalanya, hal itu membuat Al menipiskan bibirnya.

"Nanti,"

"Udah malam, sayang." Entah kenapa, Al sudah tidak merasa malu lagi mengucapkan kata tersebut. Perasaannya tumbuh sangat cepat.

"Kalo bisa, tontonannya diganti aja sama yang lebih bermanfaat." tutur Al dengan lembut.

"Ck, bawel." decak Emira seraya bergeser membelakangi Al.

Al terpaku, kaget melihat perubahan istrinya yang berbeda saat siang tadi. Ia bertanya dalam hatinya, apakah inikah sifat asli istrinya. Ia berdoa semoga Allah memperteguh hatinya.

"Izin, ya." Al meminta izin untuk menyentuh dahi Emira, dan hangat.

"Perutnya sakit lagi?" tanya Al hati-hati, namun tak ada respon apapun.

Dibalik itu, Emira berusaha menahan dirinya agar tidak terbiasa manja. Ia menahan rasa sakit yang biasa dideritanya ketika awal-awal haid, salah satu cara melupakan rasa sakit tersebut adalah dengan menonton drama korea.

Namun, tiba-tiba suaminya datang dan menyuruhnya untuk tidur serta menasehati hal yang menurutnya tak penting.

Sisi sensitif Emira sedang muncul, mungkin dipengaruhi hormon haid juga.

"Sayang," panggil Al, karena tak mendapat respon dari istrinya.

"Minum obat ya?"

"Nanti kalo kamu sakit, bisa-bisa saya dimarahi Pimpinan."

Sepertinya Al salah berbicara, hingga istrinya itu mau membalas ucapannya.

"Tujuan Anda menikahi saya, karena Anda takut dimarahi Papa saya?" Emira bingkas duduk dan menatap datar wajah suaminya yang mengerut bingung.

Al menggeleng cepat setelah pertanyaan istrinya selesai diutarakan. "Astaghfirullah, nggak gitu maksud saya." Al mengutuk dirinya dalam hati, sebab tak bisa menjaga lisannya.

"Maaf, maafin saya kalo saya salah bicara." ucapnya sepenuh hati, tangannya berusaha meraih Emira namun segera ditepis oleh istrinya itu.

"Atau, Jabatan Anda akan naik jika menikahi saya?" ternyata Emira masih melanjutkan pertanyaan yang membuat wajah Al berubah seketika.

Hati kecil mereka mulai tersentil satu sama lain. Jika tidak ada yang mau mengalah, mungkin mereka akan saling menyakiti. Al memejamkan matanya, mengatur napasnya seraya beristighfar agar menenangkan hatinya.

Lalu membuka matanya, dan langsung menatap wajah istrinya yang berlinang air mata.

Gadis kecil itu terlihat menyedihkan di mata Al, dan itu membuat ulu hatinya terasa nyeri.

"Benar begitu?" lirih Emira.

Al menggeleng cepat, "demi Allah! Saya tidak berniatan seperti itu, dan tidak dijanjikan tentang hal apapun! Ini murni karena kemauan saya sendiri." jelasnya meyakinkan Emira.

"Bohong," cicit Emira. Air matanya kian menderas.

"Demi Allah! Saya berani bersumpah." serunya yakin, ia meraih tangan Emira untuk berjabat tangan. Namun segera ditepis oleh Emira.

"Bohong!" pekik Emira, membuat Al membeku. Ia tak percaya jika istrinya akan bereaksi seperti ini.

Al berdoa dalam hati, ini adalah malam pertama yang sangat tidak diharapkan olehnya. Ya Allah berkahilah rumah tangga kami.

"Sayang," panggil Al lembut.

Namun Emira masih menangis hingga tersendat sambil memeluk tubuhnya. Banyak hal yang menghantui pikiran seusianya, entah itu impian yang tidak sesuai harapannya. Atau orang sekelilingnya yang sering mengecewakannya. Karena sejatinya, Emira selalu berharap kepada manusia.

"Ira," panggil Al seraya mendekap istrinya.

Emira sekeras mungkin melepaskan dekapan suaminya.

"Lepas!"

"Saya tidak butuh orang seperti Anda!" tunjuknya, "Kenapa Anda mau menerima tawaran Papa saya kalau tidak dijanjikan sesuatu, Hah?!"

"Kamu juga terpaksa, kan, menikah dengan saya?"

Al berusaha menghentikan racauan istrinya, ia paham dengan pemikiran orang seusia istrinya ini yang sangat labil apalagi untuk mengendalikan emosi.

Al mendekap erat istrinya yang memberontak, namun tenaga Emira tidak sekuat itu untuk terlepas dari Al.

Emira memukul-mukul tubuh Al sambil meracau dengan histeris. Ia benar-benar meluapkan emosinya yang dipendam selama berhari-hari itu.

Lama, usahanya tidak berhasil membuat Emira kelelahan, hingga gerakannya mulai melemah.

Al yang tadinya menatap kosong ke arah tembok, kini menunduk untuk melihat istrinya yang berada dalam dekapannya. Ia mengusap punggung kecil itu yang bergetar.

Al mengangkat tubuh mungil Emira dan menyimpan ke pangkuannya. Ia benar-benar seperti tengah menenangkan sang anak.

"Maafin saya," lirih Al sambil mengecup puncak kepala istrinya.

Emira mulai tenang, hanya terdengar suara isakannya saja yang terdengar. Al berkali-kali mengucapkan kalimat maaf pada istrinya. Dengan usaha menenangkannya ia banyak-banyak mengucapkan kalimat thayyibah.

Kadang takdir memang tidak bisa ditebak dengan nalar manusia. Ia selalu memberikan kejutan-kejutan yang mana selalu membuat makhluk merasa benar-benar terkejut sungguhan.

Karena keduanya memang sudah merasa kelelahan, akhirnya mereka tertidur masih dengan posisi seperti itu.

***

Tbc


19323

ALKHAIRA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang