25. Potret Masa Lalu

Mulai dari awal
                                    

Perasaan Luci mungkin masih samar-samar, tetapi Luci dapat menebak kalau kehilangan Dekada pasti akan membuatnya seperti hidup tanpa bernapas. Luci menginginkan Dekada selamanya, hanya untuknya. Jadi, ia mengeratkan pelukannya hingga beberapa saat sebelum Dekada mengecup keningnya, menenangkan tanpa bertanya apa-apa.

"Kalau kamu maunya di rumah aja, nggak apa-apa. Kita nggak perlu ke rumah Mama, ya? Ibu sama Ayah juga masih dua hari, kan, di sini? Kamu istirahat dulu, besok baru kita ke sana."

Luci baru ingat kalau mereka sudah janji akan kumpul-kumpul di rumah mertuanya. Luci tidak enak jika harus membatalkan janji. "Kita, kan, udah janji mau ngumpul. Aku nggak apa-apa, kok, sekarang," jawabnya dengan lembut.

"Jangan dipaksakan, Ci."

"Nggak apa-apa, Mas. Aku juga kangen ngobrol sama semuanya. Aku butuh mandi sama sarapan aja sekarang."

Dekada mengembuskan napas, pelan-pelan memahami istrinya. Baiklah kalau memang begitu maunya, Dekada menurut saja. "Tapi, nanti di sana kamu istirahat yang cukup, ya?"

Luci menatap Dekada dengan binar yang tenang, lantas tersenyum dan mengangguk. Senang karena diberi banyak perhatian, banyak pengertian. Ah, memangnya kapan Dekada tidak perhatian dan pengertian? Sekarang, Luci sedang menentukan waktu untuk bercerita banyak hal dengan Dekada.

***

Kedatangan Luci dan Dekada disambut hangat oleh Cinta juga Fani yang ternyata sudah sampai lebih dulu di sana. Dari dalam, muncul Prasetya dengan pakaian khas yang amat dipahami Dekada. Di samping Prasetya, ada Ganda yang juga memakai pakaian serupa dengan besannya. Saat itu juga, Dekada paham kalau mereka pasti sudah janjian.

"Wih, Papa sama Ayah mau main golf, nih?" tanya Dekada berantusias.

"Iya, Deka. Udah lama Papa nggak main lagi. Kangen aja," balas Prasetya.

"Ayah juga suka golf?" tanya Dekada pada ayah mertuanya kali ini.

"Suka, sih, tapi kayaknya akan kaku mainnya. Terakhir main itu tiga tahun yang lalu," jawab Ganda sambil berpikir sekilas.

Dekada pun mengangguk. Ia menoleh ke samping, melihat Luci yang terlihat nyaman dalam rangkulannya. "Aku boleh ikut Ayah sama Papa main, nggak?" tanya Dekada kemudian.

"Boleh, dong."

Kemudian, Dekada melepas rangkulannya pada pinggang Luci, berlanjut memasukkan barang bawaan mereka ke dalam rumah. Luci beralih menyalimi ibu dan mertuanya, mencium pipi kanan dan kiri, saling melempar candaan yang begitu akrab. Tidak ada Mikha karena sedang bekerja. Sayang sekali. Padahal, Luci senang ngobrol dengan adik iparnya itu.

Beberapa menit kemudian, Dekada keluar dari salah satu ruangan menggunakan baju kaus polo hitam, celana panjang hitam, dan topi pun berwarna hitam. Luci sudah duduk bersama ibu dan mamanya di sofa ruang tamu. Menatap pada suaminya, Luci jatuh lagi dalam pesona laki-laki tinggi itu.

Dekada menghampiri Luci dengan senyum teduh, menundukkan kepala dan menjatuhkan kecupan di kening Luci, lantas berpamitan. "Aku berangkat, ya. Kamu jangan lupa istirahat. Kita tidur di sana aja," kata Dekada sambil menunjuk ruangan yang tempatnya berganti pakaian tadi.

Luci mengangguk nurut. Sebagai pamit terakhir, Dekada mengusap puncak kepala Luci. Prasetya dan Ganda sudah menunggu Dekada di mobil, lantas mereka pergi bersama. Tersisa Luci bersama Fani dan Cinta.

Behind the Camera [COMPLETED] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang