"Sakti, kamu tuh sengaja banget ya mau buat aku marah?"
"Habis kamu sendiri kelihatan nggak peduli sama aku." Sakti membuang muka tanda kesal. "Kamu bukannya pembantu lho di rumah ini, tapi kenapa suka banget bantu-bantu pekerjaan rumah. Di sini ada banyak ART, nggak cuma Mbak As. Kalau kamu bantuin Mbak As terus yang lain keenakan makan gaji buta," ujar Sakti mengutarakan isi hatinya yang tidak suka melihat Adel repot seperti ini apa lagi sampai mengabaikannya.
Adel menghela nafas panjang. Ia meletakkan piring terakhir yang ingin ia susun lalu mengambil posisi duduk di kursi sebelah Sakti.
"Maaf ya kalau aku terkesan abai sama kamu. Aku cuma kurang nyaman kalau sedang bekerja terus diganggu. Lagian aku terbiasa untuk melakukan pekerjaan rumah sendiri, jadi kalau ada pekerjaan rumah yang belum dikerjakan aku nggak tahan lihatnya. Mau buru-buru dikerjakan," ujar Adel sambil menatap Sakti tidak enak.
"It's okay, aku tahu seberapa mandiri dan rajinnya istrimu. Tapi jangan sampai kecapekan ya? Aku nggak mau anak-anak juga ikut kecapekan." Adel mengangguk cepat sambil tersenyum.
"Btw kamu suka sama kalungnya?" Sakti menunjuk ke arah sebuah kalung yang menggantung indah di leher Adel. Yang mana itu merupakan kalung pemberiannya kemarin. Sakti tidak sempat menanyakannya karena sibuk melakukan pertempuran dengan Adel. Pertempuran panas, maksudnya.
Adel meraba kalung tersebut dengan senyum yang semakin merekah. "Iya, aku suka banget sama kalung ini. Selain warna berlianya merupakan warna kesukaanku. Bentuknya juga beda dari yang lain. Makasih ya?"
Mendengar itu mau tidak mau membuat Sakti berbangga hati. "Cuma makasih aja nih? Aku butuh imbalan yang lain juga," ucap Sakti dengan senyum penuh maksud.
Kening Adel berkerut waspada. Jika suaminya berkata seperti itu, pasti ada hal yang diinginkan dan harus dipenuhi.
"Sakti, tolong jangan yang aneh-aneh."
Sakti tergelak. "Nggak aneh-aneh, aku cuma mau satu keinginan sekarang." Sakti mengacungkan jari telunjuknya membentuk angka satu. Sudut bibirnya terangkat membentuk seringai.
Menaruh rasa curiga pada orang lain itu sebenarnya tidak baik, tapi teruntuk Sakti memang patut dicurigai, seperti sekarang misalnya.
Deheman canggung keluar dari mulut Adel. Ia sempat menatap sekitar dan memastikan bahwa Mbak As masih sibuk dengan pekerjaannya. Dirasanya aman, Adel kembali menatap Sakti dengan wajah gusar.
"Sakti, kamu nggak serius kan minta itu sekarang?" tanya Adel dengan nada pelan. Ia juga sedikit memajukan wajahnya agar Sakti mendengar dengan baik suaranya.
Lalu dengan santainya lagi, Sakti ikut memajukan wajahnya hingga hidung mereka hampir bersentuhan jika Adel tidak segera mundur karena terkejut.
"Itu apa sih sayang, aku nggak paham," ucap Sakti dengan tampang polos.
"Aku tahu kamu paham. Pokoknya aku nggak mau wujudkan keinginan kamu, mending kamu ambil lagi ajak kalungnya." Ketika Adel hendak melepaskan kalung dari suaminya itu, dengan cepat Sakti memeluknya. "Jangan dilepas. Kamu cantik banget pakai itu soalnya. Aku cuma bercanda aja kok tadi, aku nggak minta apapun, kamu suka dan senang aja udah lebih dari cukup," ujar Sakti.
Adel tidak menyahut, ia memilih memejamkan mata. Dirinya lebih berfokus pada rasa hangat yang Sakti berikan melalui pelukan tersebut. Rasa rindunya pada Sakti pun ikut tersalurkan. Nyaman sekali dan rasanya ia ingin terus berada dalam dekapan Sakti. Adel akui bahwa separuh hidupnya sudah dikuasai oleh bayang-bayang Sakti. Ia berharap bahwa pernikahannya ini tetap berjalan dengan baik sampai waktu yang tidak terhingga. Karena jika hal itu tidak terjadi, ia pasti akan kesulitan untuk melalui kehidupannya seorang diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Result Of Mistake
General FictionSama-sama berusia muda, sama-sama masih ingin merasakan kebebasan namun karena satu kecerobohan yang diperbuat semua berubah dalam sekejap. Menjalin sebuah ikatan dengan cara terpaksa merupakan mimpi buruk bagi keduanya. Bersama tanpa cinta seperti...
✨ 35. Kesempatan Kedua ✨
Mulai dari awal