Ava mencoba mengehentikan tangisnya walaupun masih sesenggukan.

"Aku hiks... nggak hiks... matre kan?"tanya Ava masih sesenggukan.

"Nggak! Siapa yang berani bilang gitu lagi aku robek langsung mulutnya!"ucap Gara.

Ava melototkan matanya mendengar ucapan Gara, suaminya itu sangat seram.

"nggak nggak! Just kidding baby,"ucap Gara yang mendapat pelototan dari istrinya.

Gara mengusap bekas air mata di pipi Ava, kini hidungnya memerah. Gara sangat gemas melihat muka Ava yang seperti bayi, Gara mengecup kedua mata Ava yang sembab.

Gara kembali memeluk tubuh mungil Ava yang masih berada dalam gendongannya. Gara semakin mengeratkan pelukannya meyakinkan padanya bahwa ia akan selalu melindungi Ava, ia akan menjadi perisai bagi Ava. Gara menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri seperti menenangkan bayi yang sedang menangis.

Gara mengusap kepala Ava lembut sesekali mengecupinya. Hingga kini Ava sudah tertidur pulas dalam pelukan Gara.

Gara membiarkan Ava tertidur karena acara resepsi akan diadakan nanti malam. Gara memandangi wajah tenang istri mungilnya.

Ia tak tega melihat Ava yang menangis, jika saja yang bicara adalah laki-laki sudah Gara pastikan dia sedang di rumah sakit sekarang. Satu tahun belakangan ini Gara selalu bisa mengendalikan emosinya, namun tadi saat melihat Ava menangis Gara hampir tak bisa mengendalikan emosinya.

Gara ingin melampiaskan amarahnya, ia tak suka melihat istrinya bersedih. Gara terus beristighfar dalam hatinya. Ia tak ingin membuat Ava takut saat melihat amarahnya.

Gara menidurkan Ava dengan sangat pelan, menyelimutinya kemudian mencium dahi Ava lembut. Setelah itu Gara keluar dari kamar, bukan untuk menemui Bude. Gara ingin merenungi diri, ia berjalan menuju masjid saat mendengar suara azan Zuhur.

Sesampainya di masjid Gara langsung berwudhu, setelah itu masuk kedalam masjid.

"Gara!"panggil Abah.

Gara mendekat dan bertanya, "ada apa Abah?"

"Pimpin salat berjamaah,"jawab Abah.

Gara menuruti perintah Abah, ia berjalan menempati tempat imam. Setelah para jamaah sudah rapih berbaris meluruskan shaf, Iqomah dikumandangkan.

Gara mengucapkan takbir, diikuti oleh jamaah. Salat Zuhur di imami oleh Gara, ia melantunkan bacaan salat dengan merdu. Setelah mengucapkan salam, dilanjutkan dengan berdzikir hingga selesai.

Banyak jamaah yang memuji bacaan surat Gara yang merdu dan fasih. Mereka tak menyangka dibalik penampilan Gara yang seperti berandal ternyata ia seorang yang paham agama.

Semua orang kembali beraktivitas, sedangkan Gara masih terduduk dengan tangan yang terus berdzikir. Abah menepuk bahu Gara membuatnya menoleh ke belakang.

Gara menyelesaikan dzikirnya kemudia berbalik menghadap Abah.

"Abah, saya merasa gagal menjaga Ava, baru sehari menjadi istri saya ia sudah meneteskan air matanya."jelas Gara dengan mata yang memerah.

"Itu bukan salahmu, setiap manusia pasti memiliki kekurangan, begitu pun Budenya Ava, ia masih belum bisa menjaga lisannya."jelas Abah yang sudah tahu permasalahannya.

"Saya kecolongan, tak menjaga Ava dengan baik. Abah boleh menampar saya."ucap Gara.

"Sudah jangan berlarut-larut dalam permasalahan, lebih baik saling memaafkan dari pada saling menyalahkan,"ucap Abah.

"Kembalilah ke ndalem, istirahatkan tubuhmu malam ini akan mengadakan resepsi,"ucap Abah.

Gara pun mengangguk paham, kemudian pergi setelah menyalimi tangan Abah.

Gara sudah berada di depan kamar ia membuka pintu dengan perlahan, saat masuk Gara melihat Ava masih tertidur pulas. Ia pun mendekat ke arah Ava, mengusap pelan pipi Ava.

"Baby, ayo bangun salat Zuhur dulu,"bisik Gara ditelinga Ava.

Melihat Ava masih belum membuka matanya Gara mencoba cara lain, ia mendekatkan wajahnya meniup pelan wajah Ava.

"Avaley Laiba istrinya Garaka Guamancapac ayo bangunn..."ucap Gara pelan.

Ava masih setia menutup matanya, dengan nafas yang teratur. Gara kembali memikirkan cara untuk membangunkan Ava. Sebuah ide cemerlang mendarat di kepala Gara, ia tersenyum miring.

Bersambung...

•jangan lupa vote dan komentarnya readers yang baik hati dan tidak sombong serta rajin menabung,xixixi....

PSYCOPATH  INSAF (END)Where stories live. Discover now