35 : Kesepian Oma

Mulai dari awal
                                    

Wanita itu terdiam, tak menyahuti ucapan Villion. Wajah samping terlihat tengah merenung, berpikir sesuatu, meski begitu tatapan terasa hampa. Villion penasaran, apa yang tengah dipikirkan oleh Camelia.

"Saya mulai berpikir, kenapa kamu bisa membuat Zafran berubah?" Camelia membuka suara, "dan sudah pasti itu ada sangkut-pautnya dengan panggilan Oma dari kamu untuk saya."

Villion menaik-turunkan alisnya dengan senyum merekah jail, seakan tengah mengerjai omanya. "Keren, 'kan? Saya bisa menembus waktu buat ketemu sama kalian di masa lalu," ungkapnya, terdengar sangat santai.

Camelia mendengkuskan tawa kecil. "Nggak mungkin. Kamu pasti mencuci otak anak saya."

Hanya helaan napas yang diberikan sebagai respons, tuduhan Camelia sangat konyol menurut Villion. Seorang Zafran yang sudah menginjak usia tujuh belas tahun, dengan sikap yang lebih dewasa dari Villion, mana mungkin bisa Villion cuci otaknya untuk menjadi boneka.

"Jawab jujur, siapa kamu sebenarnya?"

Villion berdecak. "Sebelum saya jawab, saya mau nanya sesuatu. Oma pernah nanya ke putra Oma, apa yang bisa membuat dia bahagia di dunia ini?"

Lagi-lagi Camelia terdiam, tatapan matanya seakan menegaskan bahwa beliau tak tahu apa-apa soal Zafran. Villion semakin meremehkan, dengan ekspresi mengejek dan menggunjing cara bicara Camelia yang begitu tegas, tetapi anggun.

"Coba kalau kamu ikut kata saya, pasti nggak bakalan tinggal di rumah kayak gini," ucap Villion, mengulang ucapan Camelia saat datang ke rumah Zabir, "preet, apa gunanya kekayaan, kalau dikurung di rumah mewah, dibatasi segala aktivitas di luar. Semua anak seusia Zafran juga pasti bakal milih yang membebaskannya melakukan apapun."

Camelia mengerang, meja menjadi media untuk meluapkan emosi. Lagi-lagi Villion tersentak kaget, bahkan ia sampai melompat dari kursi yang diduduki. Tatapan Camelia semakin tajam padanya, seakan ingin menerkam, kini beliau telah berdiri dari duduknya hendak melangkah untuk mendekati Villion.

"Tunggu," cegah Villion, "ini marahnya karena apa? Nggak terima saya ngomong gitu, atau karena sadar kalau Oma udah ngelakuin kesalahan?"

"Nggak!" sela Camelia cepat, berdiri di hadapan Villion masih dengan kemarahan, "saya nggak pernah salah mendidik anak saya sendiri!"

Mengepalkan tangan, ingin sekali Villion memberikan satu bogem mentah ke wajah wanita keras kepala itu. Namun, tertahan di ujung buku-bukunya, Villion sadar bahwa itu tak perlu dilakukan.

"Oma kesepian, nggak perlu keras kepala. Kalau masih begini, selamanya Oma bakalan sendiri," Villion mendengkus, kedua tangannya terangkat untuk menyelimuti pipi Camelia, "selama ini opa ngejar Oma, dan sekarang opa malah jadi nungguin Oma."

***

Villion keluar dari rumah omanya, langsung menuju depan gerbang, di mana motor sang ayah masih terparkir di sana. Tatapannya terarah pada Zafran yang berdiri dan tengah mengobrol dengan seseorang, Villion mempercepat langkah.

"Sialan lo, Ratu!" geramnya, ketika tahu siapa yang kini ada bersama Zafran.

"Huh? Gue kenapa emang?" Ratu mengalihkan tatapan pada Villion.

"Gue hampir mati kehabisan napas di dalam sana!" Villion mendengkus, "lo ngapain di sini? Nggak balik aja ke masa lo."

"Masa?" sela Zafran yang ternyata masih berada di sebelah mereka.

Seketika keduanya mengulum bibir rapat-rapat, seakan tidak menyisakan cela agar tak keceplosan. Ratu lebih dulu membuang napas, kemudian kembali menatap Villion untuk meminta persetujuan, gelengan sebagai jawaban.

Ya, Villion masih ingin menutupi fakta bahwa masa depan yang dirasakan olehnya, kini telah berubah karena dirinya dan Ratu. Villion juga masih ingin menutupi tentang terdapat korban di perubahan tersebut. Ia tak ingin disalahkan oleh Zafran, dan mendapatkan kemarahan.

"Yah, kita balik sekarang, yuk," ajak Villion, lebih dulu menuju motor.

"Jelasin dulu," Zafran berucap tegas, "gue bukan orang yang baru tahu tentang lo, udah pasti gue bisa baca apa maksud lo."

Zafran beralih pada Ratu, tatapan menyelidiki itu membuat Villion menelan ludah susah payah. Ia melangkah dan berdiri di hadapan Ratu, menutup pandangan Zafran dan memilih untuk menyelesaikan berdua tanpa Ratu.

"Gue kenal dia, anak Bi Alya," ucap Zafran, "ini kali kedua gue ketemu dia. Jadi, dia Ratu yang ngirim paket itu?"

"Vil nggak tahu apa yang ada di pikiran Ayah, yang jelas sekarang kita harus pulang, karena opa pasti udah nungguin di rumah."

"Jangan mengelak!" ketus Zafran, "gue lagi nanya!"

Villion tak gentar, meskipun suara Zafran sudah naik satu oktaf. Ia menghela napas berat, kemudian menarik Zafran ke motor, tetapi ayahnya itu melawan dan mengempaskan tangan Villion.

Zafran kembali menatap Ratu. "Hanya satu pertanyaan gue, Bi Alya baik-baik aja?"

"Hah?" Ratu yang sudah ketakutan melihat emosi Zafran, kini dibuat bingung dengan pertanyaan itu.

"Jawab!" paksa Zafran.

"I-iya, ibu baik-baik aja."

***

Wow

Aku rajin loh

Sepotong Kisah 02 (On-going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang