Setelah berbincang dengan dokter tanpa menunggu Ardana langsung menghampiri ruang rawat Sera. Air matanya kini menetes melihat selang oksigen yang menjadi alat bantu Sera bernapas. Wajah pucatnya yang terpejam membuat Ardana meringis. Sebelum tak sadarkan diri Sera mengakhiri hubungan mereka, ia masih mengingat bahwa Sera mengatakan tak ingin semakin sakit. Apa memang hubungan mereka itu membuat Sera sakit? Kehadirannya membuat luka untuk Sera selama ini?

Perlahan Ardana menggenggam tangan Sera yang terdapat selang infus, sangat sakit harus melihat orang yang paling dia sayangi seperti ini. Perlahan Ardana juga menunduk dan terisak kecil di sana. Memang setulus dan sedalam itu Ardana untuk Sera.

***

Setelah beberapa saat berlalu Ardana menunggui Sera, tiba-tiba ponsel pemuda itu berdering, dan lagi-lagi itu Lucas. Dengan mendesah kesal Ardana mengangkatnya setelah sebelumnya dirinya berdiri dan membelakangi Sera.

Dan siapa sangka begitu Ardana melepaskan genggaman tangannya di tangan Sera tangan mungil itu langsung bergerak, dan matanya mengerjap.

“Sekarang gak bisa! Sera lagi di rumah sakit, gue gak bisa ninggalin dia sendiri,” desis Ardana setelah mendengarkan Lucas bicara.

“Lo gila? Gak cukup gue udah balik lagi jadi anggota?” ujarnya lagi dengan rahang mengeras.

“Tapi kenapa harus bawa-bawa Milla terus?”

“Ah sial!” Ardana mengacak rambutnya asal setelah mematikan sambungan telepon.

Pemuda itu kembali ke ranjang Sera dan mengecup keningnya. “Aku bakal balik lagi,” bisiknya.

Tak ada pilihan, Ardana dengan berat hati meninggalkan kamar rawat Sera dan membawa ponsel Sera. Ia harus menghubungi Alea agar gadis itu bisa menemani Sera.

Begitu pintu tertutup, mata Sera langsung terbuka, sebenarnya sedari Ardana mengangkat telepon ia sudah bangun. Benar-benar setelah Ardana melepaskan genggaman tangannya ia siuman.

Mau ke mana Ardana? Dan kenapa Milla disebut-sebut? Sera membatin penuh pertanyaan. Ia juga sedikit pusing sekarang ini belum mampu bangkit dan hanya bisa terdiam.

.

Di sisi lain Ardana melajukan mobilnya menuju rumah Milla setelah sebelumnya menghubungi gadis itu bahwa dirinya akan menjemput.

Ini sudah begitu larut, jam sebelas lebih. Dan ternyata Milla stay di depan teras menunggu Ardana. Membuatnya langsung keluar gerbang dan menghampiri begitu Ardana tiba.

“Masuk,” ujar pemuda itu dari dalam.

Milla mengangguk dan masuk. “Mau balap kok bawa mobil?” tanyanya yang duduk di samping Ardana itu.

“Tadi ada urusan dulu,” balas Ardana datar.

“Oh.” Milla kembali mengangguk dan memaksa tersenyum, sungguh suasana yang sangat canggung.

“Bokap nyokap lo gimana? Lo ngendap-ngendap kan keluarnya?” tanya Ardana kini setelah putar arah dan kembali melajukan mobilnya.

“Iyalah,” jawab Milla cepat. “Tapi bokap gak ada di rumah, jadi gue sedikit tenang.”

“Maaf gue bikin lo di posisi ini,” Ardana menghela napas beratnya.

“Demi Sera, kan?” tanya Milla tersenyum miris. “Gapapa kok, gue seneng-seneng aja” lanjutnya dengan perasaan nyelekit sakit.

“Sera sekarang dirawat di rumah sakit, Mill. Belum siuman.”

Milla langsung melirik. “Hah? Serius? Dia kenapa?”

“GERD, lo juga gak tau kan?”

Gadis itu menggeleng, langsung mengingat apa yang selalu Sera makan saat di sekolah, juga selalu mengingat kalau Sera itu jarang sarapan dengan alasan ribet.

Fate and PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang